Jumat, 23 Agustus 2013

Filsafat Wajah

DIMENSI ETIS WAJAH LIYAN
(Elfridus Silman, SMM)

Pergumuluan Emanuel Levinas tentang wajah sungguh mengonstruksi etika yang memayungi relasi aku dan orang lain. Konstruksi etis filsafat wajah berakar pada cara baru memahami kehadiran sesama. Kehadiran sesama menyajikan kekayaan yang tak berhingga bagi saya untuk memahami martabat manusia. Gagasan ini mendasari bangunan relasi aku dan Liyan sebagai sebuah relasi intersubyektif.
1.      Filsafat Wajah Levinas
Dalam hidup keseharian kita pasti berjumpa dengan orang-orang lain yang hadir di sekitar kita. Perjumpaan itu membangun sebuah relasi yang tak mungkin dihindari. Tak seorang pun dapat bertahan hidup tanpa masuk dalam jaringan relasi dengan sesamanya. Esensi dari sebuah relasi itu adalah keterjalinan aku dengan Liyan. Bersamaaan dengan itu manusia sebagai subyek relasi itu berusaha menemukan dirinya sendiri. Pencarian akan makna diri mewarnai semua perjumpaan diri seseorang dengan sesamanya. Kehadiran Liyan menawarkan suatu identifikasi diri, aku menemukan diriku dalam perbedaan sekaligus persamaan dengan realitas yang ditampilkan oleh diri Liyan. Apa yang ditampilkan oleh Liyan itu adalah Wajah yang memberi pengertian melampaui apa yang saya pahami tentang keberadaanku dari diriku sendiri. Wajah memaksudkan kehadiran personal seseorang yang memungkin aku mengenalnya sebagai realitas yang bukan aku sekaligus memberi makna terhadap kehadiranku. Wajah secara polos, tanpa kepalsuan, merepresentasi diri seseorang bagiku. Dengan menatap wajah aku mengenal sesamaku dan wajah yang tampak itu membuatku juga mengenal diriku.
Emanuel Levinas membangun filsafat wajah dengan uraian fenomenologis atas dasar metafisika.[1] Permenungan Levinas tentang fenomena perjumpaan aku dengan Liyan (The Other) menggagas suatu cara pandang baru tentang realitas Liyan. Wajah yang ditampakan Liyan bukan sekadar wajah sebagaimana yang dapat dicerap oleh indera kita, seperti warna kulit, hidung mancung, mata sipit, berkumis, dan sebagainya. Identifikasi wajah hanya sebatas pada kategori ciri-ciri fisik mengaburkan pemahaman akan suatu fakta universalitas keberadaan manusia. Akar dari segala perlakuan yang mereduksikan martabat orang lain menjadi sebuah obyek bagi diri saya adalah ketika pengenalan kita akan orang lain berhenti pada tataran fisik. Levinas mengajak kita untuk berpikir menembus batas-batas kemampuan inderawi kita. Wajah dalam permenungan Levinas lebih merupakan representasi simbolis dari keseluruhan figur orang lain, yang tak berhingga. Tak berhingga memaksudkan makna dari yang lain itu jauh melampaui segala usahaku untuk memahami dan mengertinya dari konteks tertentu.[2] Kategori cantik, ganteng, mancung, sipit, hitam, putih merupakan emblem inderawi yang tak bisa dijadikan tolok ukur untuk mengenal keseluruhan diri Yang Lain.
Wajah yang tampak itu memuat suatu makna yang melampaui ciri-ciri fisik. Wajah yang ditampakkan orang lain menunjukan suatu realitas yang transenden, yang tak berhingga. Itulah wajah yang telanjang (le visage nu).[3] Ketelanjangan itu mengungkapkan suatu kepolosan, kelurusan hati, tanpa kepalsuan, tanpa bertopeng  dan perlindungan sedikitpun.[4]  Wajah telanjang tampak jelas bagi kita dalam diri orang-orang yang tak berdaya (The Vulnerable). Orang-orang tak berdaya, seperti orang miskin, yatim piatu, orang asing, dan sebagainya, menurut Levinas memberikan kepada kita penampakan yang jelas dari Wajah telanjang itu. Orang-orang itu juga manusia yang sama seperti saya, sebagai pribadi yang ingin mempertahankan keberadaannya sebagai manusia yang unik dan utuh.[5] Dalam kehinaan dan ketakberdayaan mereka, mereka menampilkan Wajah, sebagaimana yang saya tampilkan. Artinya, ketika saya berjumpa dengan orang-orang seperti itu, yang pertama-tama muncul adalah cetusan makna dari suatu keberadaan. Pengakuan ini menempatkan Yang Lain itu sebagai subyek, bukan sebagai obyek. Levinas berargumen bahwa, wajah orang lain itu bukanlah obyek, dari ekspresinya yang murni, ia telah mempengaruhi saya sebelum saya dapat mulai membayangkannya.[6] Konsekwensinya adalah kehadiran mereka dalam ketelanjangan wajahnya adalah penemuan kembali keluhuran martabat manusia.
Liyan di dalam dirinya membawa kekayaan pengetahuan tentang martabat diriku sebagai manusia. Ketika saya berpapasan dengannya, wajah yang ditampakkannya adalah cermin bagiku untuk menemukan diriku. Suatu kedalaman arti Wajah yang saya temukan dalam Liyan menyajikan bias-bias pengertian akan diri saya sendiri. Sebab apa yang ditampilkannya adalah apa yang juga saya miliki dalam keunikannya tersendiri.

2.      Relasi Aku dan Liyan Sebagai Relasi Intersubyektif
Liyan kerap diidentikan dengan yang tertindas, terasing, tersingkirkan, yang berada di bawah (sub).[7]  Pemahaman ini mewarnai berbagai pemikiran yang menyuarakan perlawanan kaum tertindas. Pembebasan dari ketertindasan itu seolah-olah adalah pembebasan dari ke-liyan-an. Levinas memiliki perspektif yang lain sama sekali. bagi Levinas Liyan itu adalah Subyek lain yang hadir di sekitar atau bersama saya. Levinas memandang Liyan itu sebagai sesama yang darinya perjumpaan kita melahirkan segala nilai-nilai etis dan keindahan.[8] Pandangan ini tentu bertitik tolak dari uraian filsafat wajah yang mengartikan kehadiran Liyan itu sebagai subyek yang dalam dirinya memuat suatu realitas yang unik dan tak berhingga (trancenden).
Liyan membahasakan suatu realitas diri yang lain yang berada di luar ‘aku.’ ‘Liyan’ itu adalah ‘bukan-aku.’  Bukan-aku berarti sesuatu yang memang sangat berbeda dariku, aku memiliki identitasku sendiri yang unik, dan Liyan memiliki identitas dirinya yang unik. Tetapi Liyan itu bukanlah ‘something.’ Liyan itu adalah diri-yang-lain, yang ada (being) di luar diriku. Berada ‘di luar’ tidak memaksudkan suatu kondisi keterputusan kontak antara aku dengan Liyan. Aku dan Liyan sebagai realitas ada yang hadir dalam satu ruang dan waktu masuk dalam suatu jaringan kontak timbal balik, yang dinamakan dengan ‘relasi.’
Beberapa filsuf, seperti  Simone de Beauvoir dan Jean-Paul Sartre, menguraikan relasi aku dan Liyan itu sebagai relasi yang syarat konflik. Liyan Beauvoir adalah Liyan sebagai kaum tertindas dalam diri perempuan yang terkungkung dalam kategori the second sex. Liyan Sartrean adalah Liyan yang dipandang sebagai neraka bagi saya. Cetusan gagasan ini memuat suatu pemahaman relasi yang konfliktual yang menuntut responsibilitas. Bagi Levinas, Liyan itu adalah Subyek yang hadir dengan tampilan wajahnya dihadapan kita. Maka relasi antara aku dengan Liyan merupakan sebuah relasi intersubjektif.
Relasi itu tidak mungkin dapat dihindari.  Kita selalu berada dalam relasi sosial, terlebih lagi kita selalu terjepit oleh ekspresi kehidupan dari yang lain.[9] Keberadaan dalam relasi sosial menempatkan kita pada keharusan untuk memberi diri dan menerima yang lain. Memberi diri berarti menampilkan ekspresi diri kita dalam Wajah yang telanjang; dalam keterbukaan dan kepolosan. Menerima yang lain berarti menerima Wajah telanjang itu apa adanya, dalam keterbukaan dan kepolosannya, sebagaimana ia adanya. Pemahaman relasi seperti ini mengandaikan suatu pemahaman akan kehadiran yang lain sebagai Subyek sama seperti diri saya. Levinas berargumen bahwa Liyan itu bukan obyek.[10] Jika Liyan itu direduksikan pada obyek maka muatan relasi itu bukanlah sebuah relasi yang murni lagi. Relasi itu akan mempunyai intensi yang lain sama sekali, yaitu bisa berupa penindasan, penghinaan, pembunuhan, dan lain sebagainya. Relasi itu secara murni harus dibangun atas dasar kesadaran Liyan itu sebagai Subjek. Maka relasi aku dan Lyan itu adalah sebuah relasi intersubjektif, yang menempatkan satu dengan yang lain pada tataran kesamaan dalam keluhuran martabatnya.
Relasi intersubjektif dibangun atas kesadaran etis akan Wajah Lyan yang tampak kepada kita. Apa yang ditampakan wajah itu dalam kemurniaanya menuntut sebuah tanggung jawab dari diri kita. Wajah itu berbicara kepada diri kita tentang siapa dia dan kita. Pengakuan akan Liyan sebagai subyek, yang pantas diperlakukan sebagaimana kita memperlakukan diri kita merupakan cetusan ide yang mendobrak superioritas manusia atas manusia lain.

3.      Dimensi Etis Wajah Telanjang Liyan
Refleksi filosofis Levinas tentang wajah menghantar kita pada poin-poin penting dalam ranah etika. Ketika kita berjumpa dengan Wajah Liyan, pada saat yang sama terpancar dimensi-dimensi etis yang melingkupi hubungan kita dengan Wajah itu, yaitu; tanggung jawab, cinta, dan kebebasan.

a.      Tanggung Jawab
Levinas menggagas nilai etis wajah dalam ‘wajah-wajah’ yang dianggap paling malang dalam masyarakat. Ia berbicara tentang wajah orang-orang miskin papah, para janda, dan yatim piatu. Wajah-wajah telanjang mereka membahasakan kepolosan sekaligus ketakberdayaan. Dalam kepolosan dan ketakberdayaannya itu wajah itu mengatakan; “Jangan bunuh aku!”[11] Gagasan ini memberikan dasar etis dalam relasi atau cara pandang kita terhadap Liyan. Sebab, ketika wajah itu membahasakan seruan ‘jangan bunuh aku’ dengan sendirinya dari diri kita dituntut sebuah tanggung jawab atas keselamatannya.[12]  Tuntutan tanggung jawab itu adalah tuntutan etis yang harus saya penuhi. Ketika saya mengabaikan tanggung jawab itu berarti saya telah melakukan pelanggaran etis yang merusak citra saya sebagai manusia.
Wajah yang tampil murni, apa adanya itu membiaskan nilai-nilai etis dan keindahan yang menuntut tanggung jawab kita untuk memeliharanya. Rasa tanggung jawab itu sesungguhnya adalah kesadaran akan martabat diri kita sendiri yang patut dihormati. Maka, bentuk-bentuk penindasan, pembunuhan, penganiayaan, atau diskriminasi dengan sendirinya merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab. Perlakuan seperti itu terhadap sesama adalah bentuk penyangkalan terhadap martabat manusia universal. Obyektivasi terhadap sesama dengan perbuatan membinasakan sesama adalah bentuk pelanggaran etis. Siapa pun manusia itu, bagaimana pun kondisinya, atau juga apa pun statusnya, tak sedikit pun boleh diobyektivasi. Obyektivasi itu sama halnya dengan mereduksi martabat seorang manusia menjadi sama dengan benda-benda. Sesama manusia adalah subyek dalam dirinya sendiri dan dalam relasinya dengan subyek-subyek yang lain.
Rasa tanggung jawab itu bukan semata-mata karena aku memiliki keharusan untuk menghormati Liyan, melainkan sungguh dengan kesadaran atas ‘adanya’ diriku sebagai pribadi yang ada bagi orang lain.[13] Dalam arti bahwa kehadiran diriku pun membangun kesadaran bagi orang lain tentang keluhuran martabat manusia itu. Mereka yang hadir di sekitar saya pun memiliki tanggung jawab atas martabat saya. Inilah dimensi timbal balik dari sebuah relasi intersubyektif. Maka ketika saya menampilkan diri saya sebagai ‘pembunuh’ saya meruntuhkan bangunan etika dari relasi itu. Saya menampilkan wajah yang tidak manusiawi, sehingga mengaburkan pandangan orang lain tentang martabat manusia dalam diri saya.
b.      Cinta
Wajah menyapa dan mengundang simpati, empati, dan kekaguman. Ia mengusik perhatian dan permenungan, menghentak egoisme.[14] Di sinilah cinta itu bertumbuh. Rasa simpati, empati, kekaguman, dan menanggalkan egoisme merupakan suatu gerak keluar dari diri sendiri. Ungkapan ‘keluar dari diri sendiri’ berarti menerobos keluar dari kemapanan cinta diri.  Cinta itu tidak pernah berkisar pada ruang diri sendiri,[15] ia selalu menemukan tempat perealisasiannya dalam jalinan relasi dengan sesama.
Wajah yang ditampilkan sesama membangkitkan kesadaran dalam diriku tentang keluhuran martabat manusia. Ketika saya menganggapnya sebagai subyek, landasannya adalah martabat dalam dirinya, yang adalah manusia sama seperti saya. Menghargai martabat Liyan, sebagai subyek, sebagaimana diri saya sendiri, merupakan suatu bentuk apresiasi terhadap keluhuran martabat diri saya sendiri. Di sini gema hukum cinta kasih kristiani itu sangat terasa. ‘Cintailah sesamamu manusia sama seperti dirimu sendiri.’ Cinta itu memang merupakan aktivitas intersubyektif.[16]

c.       Kebebasan
Bagi Levinas tanggung jawab itu dimulai ketika wajah orang lain menatap wajahku.[17]  Dalam perjumpaan itu aku dituntut untuk pertama-tama menghargai, memberi, dan tunduk dihadapan wajah itu. Konsekuensinya kebebasanku dipersoalkan.[18]  Kebebasan saya yang otonom dibatasi oleh kehadiran pribadi lain. Namun, pribadi lain yang berjumpa dengan saya itu bukanlah ‘neraka’ yang mengekang saya pada situasi yang tidak mengenakan. Ia hadir sebagai subyek bebas yang menuntut tanggung jawab saya untuk menghargai kebebasannya. Demikian pun sebaliknya. dari gagasan ini dapat disimpulkan bahwa kebebasan dalam etika Levinas adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Kebebasan itu dijunjung tinggi dan diteguhkan dengan tidak mengobyektivasi Liyan.

4.      Penutup

Etika Levinas menggelitik kesadaran kita untuk merekonstruksi puing-puing martabat yang telah runtuh oleh ketidakadilan, kesewenangan, keserakahan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Dengan mengusung prinsip ‘tak satu pun manusia boleh dilukai, dihina, ditindas, didiskriminasi, apalagi dibunuh. Kita membangun kembali kesadaran akan tanggung jawab etis kita kepada sesama. Wajah Lyan membiaskan dimensi etis dan estetika wajah kemanusiaan kita.









[1] Bdk.Yohanes P. Wisok, Dimensi Etis Penampilan Wajah Menurut Levinas, dalam Melintas, Majalah Filsafat dan Teologi Fakultas Filsafat Katolik Parahyangan, No. 40, 1997, hlm. 19.
[2] Ibid, hlm. 23.
[3] Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, Ed., Aku dan Liyan, Malang: Widya Sasana Publication, 2011, hlm. 142.
[4] Yohanes P. Wisok, Op. Cit., hlm. 24.
[5] Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, Ed. Op. Cit., hlm. 170.
[6] Stanford Encyclopedia of Philosophy, http://plato.stanford.edu/entries/levinas/, akses tanggal 19 Februari 2012.
[7] Bdk. Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, Ed. Op. Cit., hlm. iv.
[8] Ibid.
[9] Stanford Encyclopedia of Philosophy, http://plato.stanford.edu/entries/levinas/, akses tanggal 19 Februari 2012.
[10] Ibid.
[11] Stanford Encyclopedia of Philosophy, http://plato.stanford.edu/entries/levinas/, akses tanggal 19 Februari 2012.
[12] Bdk. Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, Ed. Op. Cit., hlm. 144.
[13] Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, Ed. Op. Cit., hlm. 174.
[14] Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, Ed. Op. Cit., hlm. 142.
[15] Ibid, hlm. 181.
[16] Ibid, hlm. 183.
[17] Ibid, hlm. 149.
[18] Yohanes P. Wisok, Op. Cit., hlm. 26.