Jika engkau sedang jatuh cinta
Engkau tengah merajut masalah
Mencaburkan diri dalam fakta transendensi
Menyebrang melampaui ke-ego-an diri
Jatuh cinta bukan sekadar perkara
Luapan gelora gairah semata
Bukan pula sebatas ekspansi naluri
Yang sarat tendensi kenikmatan diri
Mencintai itu bukan mengurai logika
Sebab jika engkau memiliki rasa cinta
Satu ditamba satu bukan lagi dua
Satu ditamba satu menjadi satu, itulah kita
Ini bukan kidung kematian rasionalitas
Sajak ini tercetus atas realitas
Bahwa cinta memiliki spritualitas
Pemberian diri untuk sebuah integritas***
SUARA PENCINTA KEBEBASAN
Sorot matamu
menggugat adaku
mengekang kebebasanku
merenggut hidupku
Pada sorot matamu
Aku itu sesuatu
Ah! sesuatukah Aku?
Sedangkan Aku bernafas dengan paru-paruku
Bendakah Aku?
Sedangkan Aku berpikir dengan akalku
Obyekkah Aku?
Selagi Aku memberontak dengan rasioku
Pada sorot matamu
Aku bukanlah Aku
jika Aku takluk menjadi sesuatu
bagimu
Sorot matamu
Itu neraka bagiku
membakar, menyulut geramku
Hey Kau!
Kau tak dapat mencabut Aku
dari ke-aku-anku***
CINTA
Cinta itu elaborasi
Hasrat dua pribadi
Yang bergerak keluar dari diri
Membiarkan diri menjadi
Pemberian bagi yang lain
Plenitudo perjumpaan dua hati***
DAMAI WAJAHMU
Di lembut paras wajahmu
Kutemukan nada nyanyian
Alunan lagu untuku dan untukmu
Tentang keharmonisan
Goresan perdamaian
Tat kala hidup berlabu
Pada nuansa ketakpastian***
KUMBANG TAHI
Suatu pagi yang cerah
Seorang bocah melintasi stapak
penuh semangat, kaki telanjangnya menapak
melewati kali, pematang sawah, dan semak
Kesehariannya. kaki kecilnya begitu lincah
Di ujung pematang sawah, sejenak ia berhenti
Menatap garang pada seekor kumbang tahi
Yang hinggap pada sebatang jerami padi
Hati kecilnya serasa tertantang dengki
Sekuat tenaga diayunkannya kaki
Menyambar, menyepak si kumbang tahi
Kumbang tahi yang malang
Pada lumpur sawah ia terkapar tak berdaya
Tak mampu lari beranjak lantaran terlentang
Dan si bocah tertawa pongah
Pada kumbang tahi yang begitu rapuh dan lemah***
KIDUNG HATI YANG TERTAWAN
Aku terperangkap pada pesonamu
Bayangan akan wajahmu menawanku
pada rindu tak bertepi
Hasrat jiwa menggelora mendesak
Ingin mengulangi perjumpaan itu
Tapi Kefanaan raga tak mungkin membawaku kembali
Sesal tiada hentinya mendera sukma
Menghujat diri yang membiarkan saat itu berlalu
Tanpa tanya atau sekadar basah basih
Ah, anganku tak berdaya menyangkal
Hadirmu dalam indah riak suaramu nan lembut
Selembut paras wajah yang coba kulukis
Bersama serpihan kenangan yang sempat terpatri
dan akan selalu kusimpan
Sampai sebaris pinta ini kan terjawab
Katakan namamu, atau apa pun yang sanggup menamakan adamu...***
JIWA DALAM GELAP
Deru hujan menghujam atap
Riuh derap irama meratap
Bak mengujat hati sunyi nan gelap
Hawa dingin, tangan kaki tergoda merapat
Membelenggu jiwa yang takut dalam pekat
Angan beku dalam gelisah tiada sarat
Lantas mengusung kuk berat
Akankah mentari yang tenggelam diufuk barat
Esok kembali merekah memancar rahmat?***
SOPHIA: Ini Kisah dan Tanyaku tentang CINTA
Hari
yang indah, Sophie. Hari indah. Kata yang sempat terucap di ujung hari
ini. Sembari meneguk kopi di sore ini, secuil senyum di bibir, mata
sedikit menerawang, ekspresi wajah yang romantis. Hahaha...Jika kau
sempat melihat, pasti kau terheran-heran dan menebak-nebak Sophie; "apa
kiranya yang melayang dalam benaknya?" Kuceritakan. Aku sedang menghadirkan
kembali kisah indah siang ini. Tak sebegitu menarik, kisah yang biasa
saja. Namun kalau hatimu sempat tersentuh, janganlah akalmu memikirkan
ini rekaan. Aku tidak mereka-reka, atau berkhayal, sekiranya sempat
diabadikan pada gambar, aku pasti membagikan untukmu juga. Saat ragaku
merasakan gerahnya sengat matahari, tatkala aku meluncur di jalanan
dengan sepeda pancalku siang ini, aku merasakan kelelahan, lalu
memutuskan untuk sejenak beristirahat di bawah sebuah pohon di samping
lapangan. Sejenak kesejukan terasa mengalir di sekujur tubuh,
terimakasih TUHAN, angin segar ini membuatku sempat berpikir betapa
baiknya Engkau.
Sungguh,
Sophie, mataku tak bisa berganti arah, saat menangkap pemandangan di
ujung jalan itu: sepasang kekasih sedang berjalan ke arahku (entahlah,
sepasang kasih atau mereka hanya berteman, yang pasti yang aku lihat
adalah seorang laki-laki berjalan sambil bergandengan tangan dengan
seorang perempuan). Makin lama, makin mendekat, dan makin jelas. Aku
sedikti terperangah, mata bersinar, tak berhenti menatap kedua insan
itu. Tangan si cowok dengan setia terus menggandeng tangan ceweknya. Aku
pun tak menyiakan sedetik pun untuk tidak terus menatap anugerah itu.
Aku terkejut ketika keduanya menyapaku dengan ramah, dan pasti tertarik
dengan caraku menatap mereka. Perasaan senang sepertinya merangsang
kakiku untuk berdiri dan dengan sopan balas menyapa. Aku berusaha
bertanya; “kemana mbah, mbok?” Dan mereka menjawab dengan senyum
keramahan, dan mungkin kemudian tampaknya bertanya balik; Aku tidak
mengerti, bahasa kami berbeda. Tapi guratan senyum dan keramahan, serta
keceriaan yang tampak terlukis indah di wajah mereka, sungguh membuatku
terkagum-kagum, tersenyum dan tak pernah memalingkan tatapanku, sambil
mereka terus berjalan lewat. Rasa penasaran dan kekaguman yang besar
mendorongku untuk mengikuti langkah mereka yang sudah gontai dan
perlahan, karena memang usia yang sudah uzur. Tangan si Opa tak pernah
lepas, dan si Oma pun mengiktui tuntunan si Opa. Aku berpikir; betapa
lestarinya kemesraan itu; pasti dibangun atas kesetiaan yang besar.
Guratan kerut wajah mereka seperti tiada ekspresi duka. Sungguh
menyiramkan suatu kesegaran bagi jiwaku. Keramahan yang terpancar
seperti angin segar yang lebih menyejukkan dari angin di bawah pohon
itu. Lama juga langkah-langkah tua itu bergerak. Aku terus berjalan
mendahului mereka, berucap permisi sebentar, lalu melemparkan senyum,
dan terus berjalan.
Di sudut lapangan itu.
Suatu pemandangan yang lain sama sekali. Selang beberapa detik dan
beberapa meter dari pristiwa indah tadi, aku menyaksikan peristiwa yang
lain sama sekali. Mungkin pembalikan atau memang lain sama sekali dari
dugaanku. Tetapi dari apa yang tampak itu, sedikit memberi gambaran
bagiku, apa sebenarnya yang terjadi. Seorang cewek duduk di atas speda
motor. Dalam jarak yang cukup dekat, saya melihat cewek itu menyeka
matanya dengan jilbabnya, berkali-kali. Ia menangis. Mungkin. Dan di
sebelahnya berdiri seorang cowok, yang kelihatan nya marah-marah (atau
mungkin tidak). Ia menggerakkan tangannya, dan berbicara dengan suara
yang keras. Aku tidak bisa menagkap makna dari pembicaraan itu,
sepertinya ia berbicara dalam bahasa jawa. Aku merasa tak nyaman untuk
berhenti, berlama-lama di situ, suasananya memang lain dari yang tadi.
Aku terus berjalan, agak tergesa-gesa, suara laki-laki itu makin
meninggi. Itu pastilah sebuah pertengkaran hebat.
Sophie,
dalam perjalanan aku merenung, tentang gambaran dua gambaran hidup yang
baru saja kusaksikan. Jelaslah itu sebuah pemandangan yang berbeda,
seperti peralihan yang kontras babak drama, serentak dan tiba-tiba, dari
klimaks ke antiklimaks. Apakah memang agar cinta itu mampu memadukan
dua insan dalam keharmonisan mesti melalui pergulatan pada ranah
antitesis dari prinsip-prinsip cinta? Aku tidak sedang menggugat, aku
sedang mencari, dan tentu mengharapkan jawaban pasti.***
SOPHIA: Menafsir Gerak Daun Jatuh Di ujung tangga, Sophia, gadis belia nan molek duduk menengadah, menatap nanar pada langit senja. Seakan ia tak percaya pada panorama mega memerah sebagai pertanda pulangnya sang mentari ke rahim bumi. Seraya menopang dagu mungilnya dengan tangan kanannya, keningnya mengerut, mengisyaratkan pergulatan akalnya mencari jawab atas segudang tanya terjawab - yang terus berkecamuk bagai badai dalam benaknya. Tatapan mata yang kian nanar, beralih hampa, dan makin kosong. Tak sediikit pun ia bergeming dan beralih hasrat pada semilir senja yang menerpa wajah dan menyibak-nyibak rambutnya. Terkejut ia seketika. Gemersik dedaunan dan derit dahan pepohonan memanggilnya tuk sejenak menoleh ke pekarangan rumah. Ah, tak ada sesuatu yang luar biasa di sana, hanya aksi nakal angin jenaka yang mengusik pepohonan. Dalam tatapan hampa yang banal itu, raut wajah Sophia seketeika berubah, matanya melotot dan berbinar, terpanaha menyaksikan tarian sehelai daun yang jatuh.
Gerak
jatuh yang lembut. Gemulai tarinya menggetarkan hati, menyulut api
hasrat jiwa untuk ikut berpadu gerak. Tunggu. Itu tak adil. Bukankah
kenyataan daun yang jatuh mengatakan keterpisahan dengan ranting
sekaligus kematian bagi sehelai daun itu? Tapi tari jatuhnya nan gemulai
tak sedikit pun mengisyaratkan aroma duka perpisahan dan kematian.
Perlahan-lahan gerak gemulai tari jatuhnya semakin gesit, dan akhirnya
dengan hentakan kasar ia terkapar di atas tanah, tergeletak tak berdaya
di antara beribu daun tua yang mulai membusuk. Ah, daun muda nan indah,
tak ayal lagi nasib akan seperti daun-daun tua itu, berubah jelek
kecoklatan. Mengapa engkau mengiringi kematianmu dengan tarian sukacita?
Tidak engkau paham bahwa engkau akan hancur membusuk pada tanah dan
akhirnya menjadi humus. Humus. Ya, humus. Tempat para cacing jalang
menjijikkan itu bermukim dan beranak pinak.
Hati kecil Sophia mengutuk kebodohan daun-jatuh itu. Ia muak dengan kata yang terakhir itu; Humus, Rumah para cacing yang paling membuatnya merasa jijik. Tetapi, bukankah humus itulah yang menyuburkan pohonnya? Seketika keningnya mengerut, melawan bahasa fana bibir mungilnya yang mencibir jijik. Ya, humus, humus yang timbul dari dedaunan yang jatuh adalah jaminan kesuburan bagi pohonnya. Oh, daun-jatuh, gerak tarimu adalah gerak kebebasan penuh sukacita. Jatuhmu bukan keterpisahan, keterhempasanmu bukan hampa makna. Tak mungkin tidak, engkau tengah bernarasi tentang totalitas pemberian diri. Tentang Cinta dan kesejatian maknanya.
Eureka!!! Hati kecil Sophia spontan bersorak. Sumringah wajah ayu mengukir senyum kepuasan. Eureka!!! Hati kecilnya lagi-lagi bersorak. Narasi pengorbanan sehelai daun yang jatuh adalah tentang memberi diri; tentang cinta. Narasi cinta itu kini terukir pada lembut paras wajahnya.***
Hati kecil Sophia mengutuk kebodohan daun-jatuh itu. Ia muak dengan kata yang terakhir itu; Humus, Rumah para cacing yang paling membuatnya merasa jijik. Tetapi, bukankah humus itulah yang menyuburkan pohonnya? Seketika keningnya mengerut, melawan bahasa fana bibir mungilnya yang mencibir jijik. Ya, humus, humus yang timbul dari dedaunan yang jatuh adalah jaminan kesuburan bagi pohonnya. Oh, daun-jatuh, gerak tarimu adalah gerak kebebasan penuh sukacita. Jatuhmu bukan keterpisahan, keterhempasanmu bukan hampa makna. Tak mungkin tidak, engkau tengah bernarasi tentang totalitas pemberian diri. Tentang Cinta dan kesejatian maknanya.
Eureka!!! Hati kecil Sophia spontan bersorak. Sumringah wajah ayu mengukir senyum kepuasan. Eureka!!! Hati kecilnya lagi-lagi bersorak. Narasi pengorbanan sehelai daun yang jatuh adalah tentang memberi diri; tentang cinta. Narasi cinta itu kini terukir pada lembut paras wajahnya.***
1xbet korean sports betting, deposit bonus codes
BalasHapus1xbet korean sports betting, deposit bonus codes, 1xbet korean 1xbet korean sports betting, deposit bonus codes, 1xbet korean 샌즈카지노 sports betting, bonus codes, 1xbet korean sports 메리트 카지노 고객센터 betting,