DIMENSI
ETIS WAJAH LIYAN
(Elfridus
Silman, SMM)
Pergumuluan Emanuel Levinas tentang wajah sungguh
mengonstruksi etika yang memayungi relasi aku dan orang lain. Konstruksi etis filsafat
wajah berakar pada cara baru memahami kehadiran sesama. Kehadiran sesama menyajikan
kekayaan yang tak berhingga bagi saya untuk memahami martabat manusia. Gagasan
ini mendasari bangunan relasi aku dan Liyan sebagai sebuah relasi
intersubyektif.
1. Filsafat Wajah Levinas
Dalam
hidup keseharian kita pasti berjumpa dengan orang-orang lain yang hadir di sekitar
kita. Perjumpaan itu membangun sebuah relasi yang tak mungkin dihindari. Tak
seorang pun dapat bertahan hidup tanpa masuk dalam jaringan relasi dengan
sesamanya. Esensi dari sebuah relasi itu adalah keterjalinan aku dengan Liyan.
Bersamaaan dengan itu manusia sebagai subyek relasi itu berusaha menemukan
dirinya sendiri. Pencarian akan makna diri mewarnai semua perjumpaan diri
seseorang dengan sesamanya. Kehadiran Liyan menawarkan suatu identifikasi diri,
aku menemukan diriku dalam perbedaan sekaligus persamaan dengan realitas yang
ditampilkan oleh diri Liyan. Apa yang ditampilkan oleh Liyan itu adalah Wajah
yang memberi pengertian melampaui apa yang saya pahami tentang keberadaanku
dari diriku sendiri. Wajah memaksudkan kehadiran personal seseorang yang
memungkin aku mengenalnya sebagai realitas yang bukan aku sekaligus memberi
makna terhadap kehadiranku. Wajah secara polos, tanpa kepalsuan, merepresentasi
diri seseorang bagiku. Dengan menatap wajah aku mengenal sesamaku dan wajah
yang tampak itu membuatku juga mengenal diriku.
Emanuel
Levinas membangun filsafat wajah dengan uraian fenomenologis atas dasar
metafisika.[1]
Permenungan Levinas tentang fenomena perjumpaan aku dengan Liyan (The Other) menggagas suatu cara pandang
baru tentang realitas Liyan. Wajah yang ditampakan Liyan bukan sekadar wajah
sebagaimana yang dapat dicerap oleh indera kita, seperti warna kulit, hidung
mancung, mata sipit, berkumis, dan sebagainya. Identifikasi wajah hanya sebatas
pada kategori ciri-ciri fisik mengaburkan pemahaman akan suatu fakta
universalitas keberadaan manusia. Akar dari segala perlakuan yang mereduksikan
martabat orang lain menjadi sebuah obyek bagi diri saya adalah ketika
pengenalan kita akan orang lain berhenti pada tataran fisik. Levinas mengajak
kita untuk berpikir menembus batas-batas kemampuan inderawi kita. Wajah dalam
permenungan Levinas lebih merupakan representasi simbolis dari keseluruhan
figur orang lain, yang tak berhingga. Tak berhingga memaksudkan makna dari yang
lain itu jauh melampaui segala usahaku untuk memahami dan mengertinya dari
konteks tertentu.[2]
Kategori cantik, ganteng, mancung, sipit, hitam, putih merupakan emblem
inderawi yang tak bisa dijadikan tolok ukur untuk mengenal keseluruhan diri
Yang Lain.
Wajah
yang tampak itu memuat suatu makna yang melampaui ciri-ciri fisik. Wajah yang
ditampakkan orang lain menunjukan suatu realitas yang transenden, yang tak
berhingga. Itulah wajah yang telanjang (le
visage nu).[3]
Ketelanjangan itu mengungkapkan suatu kepolosan, kelurusan hati, tanpa
kepalsuan, tanpa bertopeng dan
perlindungan sedikitpun.[4] Wajah telanjang tampak jelas bagi kita dalam
diri orang-orang yang tak berdaya (The
Vulnerable). Orang-orang tak berdaya, seperti orang miskin, yatim piatu,
orang asing, dan sebagainya, menurut Levinas memberikan kepada kita penampakan
yang jelas dari Wajah telanjang itu. Orang-orang itu juga manusia yang sama
seperti saya, sebagai pribadi yang ingin mempertahankan keberadaannya sebagai
manusia yang unik dan utuh.[5]
Dalam kehinaan dan ketakberdayaan mereka, mereka menampilkan Wajah, sebagaimana
yang saya tampilkan. Artinya, ketika saya berjumpa dengan orang-orang seperti
itu, yang pertama-tama muncul adalah cetusan makna dari suatu keberadaan. Pengakuan
ini menempatkan Yang Lain itu sebagai subyek, bukan sebagai obyek. Levinas
berargumen bahwa, wajah orang lain itu bukanlah obyek, dari ekspresinya yang
murni, ia telah mempengaruhi saya sebelum saya dapat mulai membayangkannya.[6] Konsekwensinya
adalah kehadiran mereka dalam ketelanjangan wajahnya adalah penemuan kembali
keluhuran martabat manusia.
Liyan
di dalam dirinya membawa kekayaan pengetahuan tentang martabat diriku sebagai
manusia. Ketika saya berpapasan dengannya, wajah yang ditampakkannya adalah
cermin bagiku untuk menemukan diriku. Suatu kedalaman arti Wajah yang saya
temukan dalam Liyan menyajikan bias-bias pengertian akan diri saya sendiri.
Sebab apa yang ditampilkannya adalah apa yang juga saya miliki dalam
keunikannya tersendiri.
2. Relasi Aku dan Liyan Sebagai Relasi
Intersubyektif
Liyan
kerap diidentikan dengan yang tertindas, terasing, tersingkirkan, yang berada
di bawah (sub).[7] Pemahaman ini mewarnai berbagai pemikiran yang
menyuarakan perlawanan kaum tertindas. Pembebasan dari ketertindasan itu
seolah-olah adalah pembebasan dari ke-liyan-an. Levinas memiliki perspektif
yang lain sama sekali. bagi Levinas Liyan itu adalah Subyek lain yang hadir di
sekitar atau bersama saya. Levinas memandang Liyan itu sebagai sesama yang
darinya perjumpaan kita melahirkan segala nilai-nilai etis dan keindahan.[8]
Pandangan ini tentu bertitik tolak dari uraian filsafat wajah yang mengartikan
kehadiran Liyan itu sebagai subyek yang dalam dirinya memuat suatu realitas
yang unik dan tak berhingga (trancenden).
Liyan
membahasakan suatu realitas diri yang lain yang berada di luar ‘aku.’ ‘Liyan’
itu adalah ‘bukan-aku.’ Bukan-aku
berarti sesuatu yang memang sangat berbeda dariku, aku memiliki identitasku
sendiri yang unik, dan Liyan memiliki identitas dirinya yang unik. Tetapi Liyan
itu bukanlah ‘something.’ Liyan itu
adalah diri-yang-lain, yang ada (being)
di luar diriku. Berada ‘di luar’ tidak memaksudkan suatu kondisi keterputusan
kontak antara aku dengan Liyan. Aku dan Liyan sebagai realitas ada yang hadir
dalam satu ruang dan waktu masuk dalam suatu jaringan kontak timbal balik, yang
dinamakan dengan ‘relasi.’
Beberapa
filsuf, seperti Simone de Beauvoir dan
Jean-Paul Sartre, menguraikan relasi aku dan Liyan itu sebagai relasi yang
syarat konflik. Liyan Beauvoir adalah Liyan sebagai kaum tertindas dalam diri
perempuan yang terkungkung dalam kategori the
second sex. Liyan Sartrean adalah Liyan yang dipandang sebagai neraka bagi
saya. Cetusan gagasan ini memuat suatu pemahaman relasi yang konfliktual yang
menuntut responsibilitas. Bagi Levinas, Liyan itu adalah Subyek yang hadir
dengan tampilan wajahnya dihadapan kita. Maka relasi antara aku dengan Liyan
merupakan sebuah relasi intersubjektif.
Relasi
itu tidak mungkin dapat dihindari. Kita
selalu berada dalam relasi sosial, terlebih lagi kita selalu terjepit oleh
ekspresi kehidupan dari yang lain.[9]
Keberadaan dalam relasi sosial menempatkan kita pada keharusan untuk memberi
diri dan menerima yang lain. Memberi diri berarti menampilkan ekspresi diri
kita dalam Wajah yang telanjang; dalam keterbukaan dan kepolosan. Menerima yang
lain berarti menerima Wajah telanjang itu apa adanya, dalam keterbukaan dan
kepolosannya, sebagaimana ia adanya. Pemahaman relasi seperti ini mengandaikan
suatu pemahaman akan kehadiran yang lain sebagai Subyek sama seperti diri saya.
Levinas berargumen bahwa Liyan itu bukan obyek.[10]
Jika Liyan itu direduksikan pada obyek maka muatan relasi itu bukanlah sebuah
relasi yang murni lagi. Relasi itu akan mempunyai intensi yang lain sama
sekali, yaitu bisa berupa penindasan, penghinaan, pembunuhan, dan lain
sebagainya. Relasi itu secara murni harus dibangun atas dasar kesadaran Liyan
itu sebagai Subjek. Maka relasi aku dan Lyan itu adalah sebuah relasi
intersubjektif, yang menempatkan satu dengan yang lain pada tataran kesamaan
dalam keluhuran martabatnya.
Relasi
intersubjektif dibangun atas kesadaran etis akan Wajah Lyan yang tampak kepada
kita. Apa yang ditampakan wajah itu dalam kemurniaanya menuntut sebuah tanggung
jawab dari diri kita. Wajah itu berbicara kepada diri kita tentang siapa dia
dan kita. Pengakuan akan Liyan sebagai subyek, yang pantas diperlakukan
sebagaimana kita memperlakukan diri kita merupakan cetusan ide yang mendobrak
superioritas manusia atas manusia lain.
3. Dimensi Etis Wajah Telanjang Liyan
Refleksi
filosofis Levinas tentang wajah menghantar kita pada poin-poin penting dalam
ranah etika. Ketika kita berjumpa dengan Wajah Liyan, pada saat yang sama
terpancar dimensi-dimensi etis yang melingkupi hubungan kita dengan Wajah itu,
yaitu; tanggung jawab, cinta, dan kebebasan.
a. Tanggung Jawab
Levinas
menggagas nilai etis wajah dalam ‘wajah-wajah’ yang dianggap paling malang
dalam masyarakat. Ia berbicara tentang wajah orang-orang miskin papah, para
janda, dan yatim piatu. Wajah-wajah telanjang mereka membahasakan kepolosan
sekaligus ketakberdayaan. Dalam kepolosan dan ketakberdayaannya itu wajah itu
mengatakan; “Jangan bunuh aku!”[11]
Gagasan ini memberikan dasar etis dalam relasi atau cara pandang kita terhadap
Liyan. Sebab, ketika wajah itu membahasakan seruan ‘jangan bunuh aku’ dengan sendirinya dari diri kita dituntut sebuah tanggung jawab atas keselamatannya.[12] Tuntutan tanggung jawab itu adalah tuntutan
etis yang harus saya penuhi. Ketika saya mengabaikan tanggung jawab itu berarti
saya telah melakukan pelanggaran etis yang merusak citra saya sebagai manusia.
Wajah
yang tampil murni, apa adanya itu membiaskan nilai-nilai etis dan keindahan
yang menuntut tanggung jawab kita untuk memeliharanya. Rasa tanggung jawab itu
sesungguhnya adalah kesadaran akan martabat diri kita sendiri yang patut
dihormati. Maka, bentuk-bentuk penindasan, pembunuhan, penganiayaan, atau
diskriminasi dengan sendirinya merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab.
Perlakuan seperti itu terhadap sesama adalah bentuk penyangkalan terhadap
martabat manusia universal. Obyektivasi terhadap sesama dengan perbuatan membinasakan
sesama adalah bentuk pelanggaran etis. Siapa pun manusia itu, bagaimana pun
kondisinya, atau juga apa pun statusnya, tak sedikit pun boleh diobyektivasi. Obyektivasi
itu sama halnya dengan mereduksi martabat seorang manusia menjadi sama dengan
benda-benda. Sesama manusia adalah subyek dalam dirinya sendiri dan dalam
relasinya dengan subyek-subyek yang lain.
Rasa
tanggung jawab itu bukan semata-mata karena aku memiliki keharusan untuk
menghormati Liyan, melainkan sungguh dengan kesadaran atas ‘adanya’ diriku
sebagai pribadi yang ada bagi orang lain.[13]
Dalam arti bahwa kehadiran diriku pun membangun kesadaran bagi orang lain
tentang keluhuran martabat manusia itu. Mereka yang hadir di sekitar saya pun
memiliki tanggung jawab atas martabat saya. Inilah dimensi timbal balik dari
sebuah relasi intersubyektif. Maka ketika saya menampilkan diri saya sebagai
‘pembunuh’ saya meruntuhkan bangunan etika dari relasi itu. Saya menampilkan
wajah yang tidak manusiawi, sehingga mengaburkan pandangan orang lain tentang
martabat manusia dalam diri saya.
b. Cinta
Wajah
menyapa dan mengundang simpati, empati, dan kekaguman. Ia mengusik perhatian
dan permenungan, menghentak egoisme.[14] Di
sinilah cinta itu bertumbuh. Rasa
simpati, empati, kekaguman, dan menanggalkan egoisme merupakan suatu gerak
keluar dari diri sendiri. Ungkapan ‘keluar dari diri sendiri’ berarti menerobos
keluar dari kemapanan cinta diri. Cinta
itu tidak pernah berkisar pada ruang diri sendiri,[15]
ia selalu menemukan tempat perealisasiannya dalam jalinan relasi dengan sesama.
Wajah
yang ditampilkan sesama membangkitkan kesadaran dalam diriku tentang keluhuran
martabat manusia. Ketika saya menganggapnya sebagai subyek, landasannya adalah
martabat dalam dirinya, yang adalah manusia sama seperti saya. Menghargai
martabat Liyan, sebagai subyek, sebagaimana diri saya sendiri, merupakan suatu
bentuk apresiasi terhadap keluhuran martabat diri saya sendiri. Di sini gema
hukum cinta kasih kristiani itu sangat terasa. ‘Cintailah sesamamu manusia sama
seperti dirimu sendiri.’ Cinta itu memang merupakan aktivitas intersubyektif.[16]
c. Kebebasan
Bagi
Levinas tanggung jawab itu dimulai ketika wajah orang lain menatap wajahku.[17] Dalam perjumpaan itu aku dituntut untuk pertama-tama
menghargai, memberi, dan tunduk dihadapan wajah itu. Konsekuensinya kebebasanku
dipersoalkan.[18] Kebebasan saya yang otonom dibatasi oleh
kehadiran pribadi lain. Namun, pribadi lain yang berjumpa dengan saya itu
bukanlah ‘neraka’ yang mengekang saya pada situasi yang tidak mengenakan. Ia
hadir sebagai subyek bebas yang menuntut tanggung jawab saya untuk menghargai
kebebasannya. Demikian pun sebaliknya. dari gagasan ini dapat disimpulkan bahwa
kebebasan dalam etika Levinas adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
Kebebasan itu dijunjung tinggi dan diteguhkan dengan tidak mengobyektivasi
Liyan.
4. Penutup
Etika
Levinas menggelitik kesadaran kita untuk merekonstruksi puing-puing martabat
yang telah runtuh oleh ketidakadilan, kesewenangan, keserakahan pihak-pihak
yang tak bertanggung jawab. Dengan mengusung prinsip ‘tak satu pun manusia
boleh dilukai, dihina, ditindas, didiskriminasi, apalagi dibunuh. Kita
membangun kembali kesadaran akan tanggung jawab etis kita kepada sesama. Wajah
Lyan membiaskan dimensi etis dan estetika wajah kemanusiaan kita.
[1] Bdk.Yohanes P. Wisok, Dimensi Etis Penampilan Wajah Menurut
Levinas, dalam Melintas, Majalah
Filsafat dan Teologi Fakultas Filsafat Katolik Parahyangan, No. 40, 1997,
hlm. 19.
[2] Ibid, hlm. 23.
[3] Prof. Dr. Armada Riyanto, CM,
Ed., Aku dan Liyan, Malang: Widya
Sasana Publication, 2011, hlm. 142.
[4] Yohanes P. Wisok, Op. Cit., hlm. 24.
[5] Prof. Dr. Armada Riyanto, CM,
Ed. Op. Cit., hlm. 170.
[6] Stanford Encyclopedia of
Philosophy, http://plato.stanford.edu/entries/levinas/, akses tanggal 19 Februari 2012.
[7] Bdk. Prof. Dr. Armada Riyanto,
CM, Ed. Op. Cit., hlm. iv.
[8] Ibid.
[9] Stanford Encyclopedia of
Philosophy, http://plato.stanford.edu/entries/levinas/, akses tanggal 19 Februari 2012.
[10] Ibid.
[11] Stanford Encyclopedia of
Philosophy, http://plato.stanford.edu/entries/levinas/, akses tanggal 19 Februari 2012.
[12] Bdk. Prof. Dr. Armada Riyanto,
CM, Ed. Op. Cit., hlm. 144.
[13] Prof. Dr. Armada Riyanto, CM,
Ed. Op. Cit., hlm. 174.
[14] Prof. Dr. Armada Riyanto, CM,
Ed. Op. Cit., hlm. 142.
[15] Ibid, hlm. 181.
[16] Ibid, hlm. 183.
[17] Ibid, hlm. 149.
[18] Yohanes P. Wisok, Op. Cit., hlm. 26.
Casino Review – Honest Review of Wynn Palace | Grizzly Gambling
BalasHapusCasino Review. Wynn Palace, Las Vegas. CasinoRatingReview 오산 휴게텔 by Grizzly Gambling bet 분석 US · 망고 도메인 Average 먹튀검증업체순위 rating: 4.8 · 넷마블 포커 Review by Grizzly Gambling US