Minggu, 13 Juli 2014

Eksistensialisme Kierkegaard

Søren Aabye Kierkegaard (1813-1855), filsuf dari Denmark, merintis babak baru dalam pemikiran filosofis abad XIX. Ia melambungkan kritik pada bangunan filsafat sebelumnya yang mengambil jarak terhadap realitas untuk mendapatkan kebenaran-kebenaran filosofis. Tradisi filsafat mulai dari Descartes menekankan eksplorasi rasional terhadap realitas. Rasionalisasi dalam bentuknya yang paling tradisional dimulai oleh Descartes dengan meragukan semua kebenaran lama. Meragukan berarti mempertanyakan. Dengan bertanya seseorang memulai aktivitas berpikir untuk memastikan keabsahan suatu kebenaran. Dengan metode baru ini, kemapanan metafisika abad pertengahan diruntuhkan.
Kebangkitan idealisme Jerman pada paruh pertama abad XIX menampik dugaan kematian metafisika. Spekulasi-spekulasi metafisis gaya baru berkembang subur menggantikan metafisika tradisional.[1] Hegel berada dalam koridor ini. Hegel mengusung idealisme absolut. Bagi Hegel, realitas tidak dibentuk oleh pikiran individu tetapi oleh suatu akal kosmik tunggal yang disebutnya “Roh.”[2] Jika realitas dibentuk oleh roh, maka sejarah bukanlah produk tindakan manusia. Yang berperan dalam perguliran sejarah dari periode ke periode adalah roh absolut.
Persoalan besar Hegel adalah kesulitan untuk menjelaskan siapa tokoh sejarah. Tokoh sejarah tidak mungkin roh. Roh itu tidak konkret. Kesulitan Hegel ini kemudian diselesaikan oleh Kierkegaard. Kierkegaard mengatakan bahwa pelaku sejarah itu adalah manusia dalam ketunggalan atau keunikannya. Sehingga bagi Kierkegaard kebenaran bukanlah produk rasionalisasi melainkan cetusan dari pengalaman konkret manusia. Pergumulan filosofis Kierkegaard mengangkat eksistensi manusia sebagai titik tolak berfilsafat. Ia menjadi perintis awal filsafat eksistensialisme sehingga ia dikenal sebagai bapak eksistensialisme.
Dalam eksistensialisme Kierkegaard, filsafat merupakan cetusan dari pergulatan keseharian manusia. Tema-tema filsafatnya bersumber dari pengalaman hidup manusia. Ketakutan, kecemasan, kegalauan, harapan, kegembiraan, dan sebagainya merupakan ungkapan pergumulan keseharian manusia. Kesadaran manusia dalam singularitasnya tidak pertama-tama digerakan oleh sesuatu yang berada di luar dirinya, tetapi oleh pergumulan kesehariannya sebagai manusia yang unik. Pergumulan dengan hidup keseharian itulah bereksistensi. Manusia itu sendiri menjadi ’aktor’ kehidupan yang berani mengambil keputusan dasariah bagi arah hidupnya sendiri.[3] Dari pengalamannya dan penghayatan hidup kesehariannya manusia dapat menemukan nilai esensial hidupnya. Seorang yang beriman akan menjadi sungguh beriman, jika iman itu bertumbuh dari pergulatan hidupnya sendiri.  Dalam hal inilah Kierkegaard mengatakan adanya peregerakan dari kondisi eksistensial menuju kondisi esensial, peregerakan dari eksistensi menuju esensi.[4]
Manusia personal selalu berhadapan dengan berbagai pilihan. Inilah situasi eksistensial. Situasi eksistensial berarti manusia menyadari bahwa ia selalu berhadapan dengan pilihan-pilihan personal.[5] Berbagai pilihan yang secara langsung berhadapan dengan manusia personal merupakan kemungkinan-kemungkinan untuk menemukan otentisitas hidup manusia itu sendiri. Manusia dari dirinya sendiri dapat menentukan pilihan, namun tidak bisa mencapai suatu kepastian. Manusia tetap sadar akan keterbatasannya. Kesadaran akan keterbatasan ini memungkinkan pengakuan akan realitas obyektif, yaitu Allah. Kepastian hanya mungkin dalam Allah. Dalam ketidakpastian di antara berbagai kemungkinan, ‘lompatan iman’ (leap of faith) itu perlu, yaitu mengimani Allah sebagai Pencipta Yang Tak Terbatas.[6]
Dalam Heidegger permenungan tentang eksistensi manusia menjadi sangat radikal dengan cara berfilsafat yang fenomenologis dan ontologis. Heidegger menegaskan penggunaan istilah eksistensi sebagai terminologi yang khas bagi manusia. Ia menyebut ‘manusia’ dengan sebuah term ontologis, yaitu Dasein. Dasein (‘itu yang di sana’) merujuk pada manusia yang merespek atau mematuhi adanya dalam dunia. Hakekat Dasein itu terletak pada eksistensinya. Pernyataan ini hendak mengatakan bahwa hakekat Dasein itu tidak terletak pada kualitas-kualitas, tetapi pada jalan kemungkinan.[7] Ketika dalam berbagai kemungkinan manusia mengalami ketidakpastian yang tercetus dalam kecemasan dan rasa takut, berarti manusia menyadari hakekat dirinya sebagai manusia. Di sinilah letak perbedaan antara Kierkegaard dan Heidegger. Bagi Kierkegaard, dalam ketidakpastian itu manusia memerlukan lompatan iman untuk keluar dari situasi itu. Sedangkan bagi Heidegger, hakekat manusia itu menjadi jelas ketika ia menyadari situasi ketidakpastian yang membuatnya cemas atau takut.




[1]F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007, 154.
[2]James Grarvey, 20 Karya Filsafat Terbesar, Yogyakarta: Kanisius, 2010, 175.
[3]F. Budi Hardiman, Op. Cit., 250.
[4]Bdk. Donny GahralAdian, Percik Pemikiran Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2005, 177.
[5]Ibid.,174.
[6]Bdk. Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard, Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: Kepustakaan GramediaPopuler 2004, 126.
[7] John Marquarrie, Eksistentialism, New York: Penguin Books, 1973, 66.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar