Søren Aabye
Kierkegaard (1813-1855), filsuf dari Denmark, merintis babak baru
dalam pemikiran filosofis abad XIX. Ia melambungkan kritik pada bangunan filsafat
sebelumnya yang mengambil jarak terhadap realitas untuk mendapatkan kebenaran-kebenaran
filosofis. Tradisi filsafat mulai dari Descartes menekankan eksplorasi rasional
terhadap realitas. Rasionalisasi dalam bentuknya yang paling tradisional dimulai
oleh Descartes dengan meragukan semua kebenaran lama. Meragukan berarti mempertanyakan.
Dengan bertanya seseorang memulai aktivitas berpikir untuk memastikan keabsahan
suatu kebenaran. Dengan metode baru ini, kemapanan metafisika abad pertengahan diruntuhkan.
Kebangkitan idealisme Jerman
pada paruh pertama abad XIX menampik dugaan kematian metafisika. Spekulasi-spekulasi
metafisis gaya baru berkembang
subur menggantikan metafisika tradisional.[1] Hegel
berada dalam koridor ini. Hegel mengusung idealisme absolut. Bagi Hegel,
realitas tidak dibentuk oleh pikiran individu tetapi oleh suatu akal kosmik tunggal
yang disebutnya “Roh.”[2] Jika
realitas dibentuk oleh roh, maka sejarah bukanlah produk tindakan manusia. Yang
berperan dalam perguliran sejarah dari periode ke periode adalah roh absolut.
Persoalan besar Hegel
adalah kesulitan untuk menjelaskan siapa tokoh sejarah. Tokoh sejarah tidak mungkin
roh. Roh itu tidak konkret. Kesulitan Hegel ini kemudian diselesaikan oleh
Kierkegaard. Kierkegaard mengatakan bahwa pelaku sejarah itu adalah manusia dalam
ketunggalan atau keunikannya. Sehingga bagi Kierkegaard kebenaran bukanlah produk
rasionalisasi melainkan cetusan dari pengalaman konkret manusia. Pergumulan filosofis
Kierkegaard mengangkat eksistensi manusia sebagai titik tolak berfilsafat. Ia menjadi
perintis awal filsafat eksistensialisme sehingga ia dikenal sebagai bapak eksistensialisme.
Dalam eksistensialisme
Kierkegaard, filsafat merupakan cetusan dari pergulatan keseharian manusia. Tema-tema
filsafatnya bersumber dari pengalaman hidup manusia. Ketakutan, kecemasan, kegalauan, harapan,
kegembiraan, dan sebagainya merupakan ungkapan pergumulan keseharian manusia.
Kesadaran manusia dalam singularitasnya tidak pertama-tama digerakan oleh sesuatu
yang berada di luar dirinya, tetapi oleh pergumulan kesehariannya sebagai manusia
yang unik. Pergumulan dengan hidup keseharian itulah bereksistensi. Manusia itu
sendiri menjadi ’aktor’ kehidupan yang berani mengambil keputusan dasariah bagi
arah hidupnya sendiri.[3] Dari
pengalamannya dan penghayatan hidup kesehariannya manusia dapat menemukan nilai
esensial hidupnya. Seorang yang beriman akan menjadi sungguh beriman, jika iman
itu bertumbuh dari pergulatan hidupnya sendiri. Dalam hal inilah Kierkegaard mengatakan adanya
peregerakan dari kondisi eksistensial menuju kondisi esensial, peregerakan dari
eksistensi menuju esensi.[4]
Manusia personal selalu
berhadapan dengan berbagai pilihan. Inilah situasi eksistensial. Situasi eksistensial berarti
manusia menyadari bahwa ia selalu berhadapan dengan pilihan-pilihan personal.[5] Berbagai pilihan yang
secara langsung berhadapan dengan manusia personal merupakan kemungkinan-kemungkinan
untuk menemukan otentisitas hidup manusia itu sendiri. Manusia dari dirinya sendiri
dapat menentukan pilihan, namun tidak bisa mencapai suatu kepastian. Manusia tetap
sadar akan keterbatasannya. Kesadaran akan keterbatasan ini memungkinkan pengakuan
akan realitas obyektif, yaitu Allah. Kepastian hanya mungkin dalam Allah.
Dalam ketidakpastian di antara berbagai kemungkinan, ‘lompatan iman’ (leap of faith) itu perlu, yaitu mengimani Allah
sebagai Pencipta Yang Tak Terbatas.[6]
Dalam
Heidegger permenungan tentang eksistensi manusia menjadi sangat
radikal dengan cara berfilsafat yang fenomenologis dan ontologis. Heidegger menegaskan penggunaan istilah
eksistensi sebagai terminologi yang khas bagi manusia. Ia menyebut ‘manusia’
dengan sebuah term ontologis, yaitu Dasein. Dasein
(‘itu yang di sana’) merujuk
pada manusia yang merespek atau mematuhi adanya dalam dunia. Hakekat Dasein itu terletak pada eksistensinya.
Pernyataan ini hendak mengatakan bahwa hakekat
Dasein itu tidak terletak
pada kualitas-kualitas, tetapi pada jalan kemungkinan.[7]
Ketika dalam berbagai kemungkinan manusia mengalami ketidakpastian yang
tercetus dalam kecemasan dan rasa takut, berarti manusia menyadari hakekat
dirinya sebagai manusia. Di sinilah letak perbedaan antara Kierkegaard dan
Heidegger. Bagi Kierkegaard, dalam ketidakpastian itu manusia memerlukan lompatan iman untuk
keluar dari situasi itu. Sedangkan bagi Heidegger, hakekat manusia itu menjadi jelas
ketika ia menyadari situasi ketidakpastian yang membuatnya cemas atau takut.
[1]F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai
Nietzsche, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007, 154.
[2]James Grarvey, 20 Karya Filsafat Terbesar, Yogyakarta:
Kanisius, 2010, 175.
[3]F. Budi Hardiman, Op. Cit., 250.
[4]Bdk. Donny GahralAdian, Percik Pemikiran Kontemporer, Yogyakarta:
Jalasutra, 2005, 177.
[6]Bdk. Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard, Pergulatan Menjadi Diri Sendiri,
Jakarta: Kepustakaan GramediaPopuler 2004, 126.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar