Selasa, 15 Juli 2014

Konflik Aku dan Yang Lain (Diri dan Liyan) Menurut Jean-Paull Sartre

Diri (self) merupakan obyek material dari permenungan tentang eksistensi manusia. Oleh karena itu permenungan akan eksistensi manusia merupakan upaya untuk memahami diri sebagai inti keberadaan manusia. Proses permenungan akan diri ini tidak terlepas dari merenungkan identitasnya sebagai ‘diri’ dalam kehadirannya di antara ‘yang lain’ yang berada di luarnya. Liyan (Other) merupakan ‘yang lain’ yang berada di luar ‘diri’. Jean-Paul Sartre[1] merupakan salah satu filsuf eksistensialis yang secara radikal menguraikan eksistensi ‘diri’ manusia dan hubungannya dengan ‘yang lain’ (liyan). Bagaimana pandangan Sartre tentang diri, liyan,dan hubungan antara keduannya?

Diri
Term ‘self’ kerapkali digunakan berkaitan dengan orang (person), walaupun penekanannya selalu pada inti atau pusatnya atau lebih pada dimensi psikologis daripada mengungkapkan bagian luar atau tubuh seseorang.[2] Self merupakan sebuah kata yang mengungkapkan realitas inti persona.  Term ini selalu muncul dalam uraian tentang kedirian manusia. Dalam bahasa Indonesia, self diterjemahkan dengan kata “diri.” Terminologi ini merujuk pada ‘pelaku’ yang bertindak berdasarkan hakekatnya sendiri.[3] Dalam ranah filsafat ‘diri’ mendapat tempat penting, terutama dalam permenungan eksistensi manusia.
Ungkapan Rene Descartes: “Cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada), telah membuka cara baru dalam permenungan filosofis untuk  memahami manusia. Ia menekankan kesadaran akan otonomitas diri manusia untuk menemukan keberadaan ‘diri’nya dan segala sesuatu yang lain. Diri merupakan pusat kesadaran akan diri itu sendiri dan yang lain yang berada di luar diri. Namun permenungan kesadaran Descartes ini merupakan suatu permenungan kesadaran yang tertutup. Berbeda dengan Descartes, para filsuf eksistensialis menjelaskan kesadaran yang terbuka. Mereka mengakui dalam segala sesuatu yang lain seseorang menemukan kesadaran akan dirinya. Segala sesuatu yang lain diakui sebagai ‘ada’ yang juga mendefenisikan keberadaan seorang manusia. Dengan demikian ‘diri’ manusia tetap merupakan titik tolak untuk menguraikan keberadaan manusia dalam dirinya dan di antara segala sesuatu yang lain.
Sartre mencurahkan perhatian penuh pada eksistensi individu. Ia menguraikan eksistensi manusia dengan bertitik tolak pada pandangan bahwa pada manusia secara hakiki eksistensi mendahului esensi. Manusia memiliki perbedaan yang sangat fundamental dengan mahluk lain dan benda-benda yang ada di sekitarnya. Karena dalam benda-benda dan mahluk lain esensi mendahului eksistensi.[4] Eksistensi mendahului esensi menegaskan bahwa; pertama-tama manusia ada, berhadapan dengan dirinya sendiri ( itself ), terjun ke dalam dunia – dan barulah setelah itu ia mendefinisikan dirinya.[5] Dalam pendefinisian diri ini aktivitas kesadaran memiliki peranaan penting. Dalam dirinya sendiri seseorang sadar akan keberadaan dirinya dan dalam segala sesuatu yang lain pun ia sadar akan ‘diri’nya. Sehingga kesadaran akan orang lain bukan sebagai bentuk afirmasi terhadap kehadiran orang lain, tetapi sebuah negasi terhadap kehadiran orang lain. Karena orang lain hadir bukan pertama-tama ada sebagai dirinya sendiri, tetapi sebagai obyek yang menrangkan keberadaan saya.
Dalam mengontologi keberadaan manusia, Sartre mengemukakan manusia pada hakikatnya pertama-tama ‘ada pada dirinya sendiri’ yang mengungkapkan ia identik sama sekali dengan dirinya. Inilah salah satu cara berada manusia, yang dalam istilah Sartre; l’être-en-soi (being-in-itself: ‘ada pada dirinya’).[6] Tetapi jika ada itu-pada-dirinya sendiri, maka itu berarti bahwa tidak merujuk pada kesadaran diri.[7] Karena ada ini tidak dapat diturunkan dari sebuah kemungkinan atau direduksikan pada suatu kebutuhan.[8] ‘Ada’ ini secara potensial ada dalam diri manusia itu sendiri dan ada begitu saja.  Being-in-itself menegaskan diri sebagai inti keberadaan manusia. ‘Diri’ menjadi inti identitas kemanusiaan. Menguraiakan eksistensi manusia berarti menguraikan hakikat dirinya. Dalam permenungan tentang ‘being-in-itself ‘ dapat dimengerti pandangan Sartre tentang diri. Di sini kita menemukan diri merupakan inti subyek dalam permenungan tentang eksistensi manusia sekaligus menjadi obyek dari permenungan filosofis Sartre.                                                                                                                                                                                                                
Kesadaran  akan kesubyekan ego beserta segala aspek kediriannya (pikiran, emosi, dan sebagainya) sekaligus membawa konsekwensi bahwa, ia sadar ia tidak identik dengan segala sesuatu yang ada di luar dirinya. Kesadaran diri bahwa ia unik mengandaikan suatu kesadaran akan sesuatu yang berada di luar dirinya. Kesadaran itu selalu kesadaran ‘dari sesuatu’ sehingga ‘diri’ didefenisikan dalam kaitannya dengan sesuatu yang lain.[9]  Dalam hal ini, yang lain itu merupakan perantara bagi saya (me) dan diri saya (myself) oleh karena yang lain itu telah menampakan kepada saya ‘apa saya itu.’[10] Dalam kesadaran akan sesuatu itulah ’diri’ menjadi pusat dari kesadaran itu. Hal ini dipahami sebagai suatu cara berada yang baru. Cara berada ini terbentuk ketika seseorang menyadari otentisitas identitas dirinya dalam sesuatu yang lain. Hal ini berarti dalam kesadaran itu ia ‘ada-bagi-dirinya’ sendiri. manusia yang kedua menurut Sartre yaitu ‘ada-bagi-dirinya’ (être-pour-soi).[11] Cara berada ini merupakan fondasi dari kesadran  akan eksistensinya.[12] Dengan demikian ‘diri’ dalam konteks pemikiran Sartre ini merupakan suatu pusat pencarian manusia. Meskipun ia hadir dalam dunia bersama yang lain, ‘dirinya’ menjadi pusat dari segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Ia mengenal segala sesuatu disekitarnya dalam konteks untuk mendefenisikan dirinya dan membedakan dirinya dari yang lain itu.
Pandangan tentang ‘diri’ yang sangat menekankan subyektivitasnya ini tentunya memiliki konsekwensi yang besar bagi pemikirannya tentang liyan. Bertitik tolak pada kesadaran akan dirinya, seseorang berusaha mengobyektivasi realitas ada yang lain di sekitarnya untuk menemukan dan atau mendefenisikan dirinya. Sehingga manusia dalam dirinya adalah otonom. Ia bebas mendefenisikan dirinya secara absolut. Inilah yng menjadi dasar dari pandangan Sartre bahwa kebebasan manusia itu mutlak. 

Liyan
Pemahaman utama dari liyan adalah sesuatu yang lain dari manusia itu sendiri atau yang memiliki perbedaan darinya.[13] Liyan  merupakan sesuatu yang berdiri di luar diri dan berbeda dari diri. Meskipun sesuatu yang terpisah dari diri, liyan merupakan realitas ada yang juga mengukuhkan keberadaan diri.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari setiap orang hadir bersama-sama dengan orang lain dalam satu ruang dan waktu. Tentunya interaksi antarpersona baik secara langsung maupun tidak langsung tidak dapat dihindari. Dalam konteks perjumpaan dengan orang lain ini Sartre menambahkan cara berada yang ketiga, yaitu ‘ada-bagi-yang lain.’ [14] Cara berada ini selalu berciri konfliktual oleh karena setiap orang berusaha untuk mendefenisikan dirinya di dalam yang lain dan menjadikan yang lain itu sebagai objek. Pemikiran ini menjelaskan kepada kita bagaimana cara seseorang memandang yang lain. Otonomitas ‘diri’ untuk menemukan dirinya di dalam yang lain memiliki konsekwensi; ‘yang lain itu harus diobyektivasi.’ Kehadiran yang lain sebagai realitas ada yang juga independen disangkal. Dirinya sendiri menjadi pusat dan yang lain dimasukkan dalam dunianya. Ia bebas menginterpretasi dunianya. Ia bebas untuk mengobyektivasi dunia itu termasuk segala sesuatu yang ada disekitarnya. Kesadaran lain pun berlaku demikian terhadapnya.
Pengalaman ada bersama orang lain membawa konsekwensi bahwa ‘diri’ saya juga ada bagi yang lain (exist for others). Dalam kenyataannya kita telah membangun struktur ada saya-bagi-liyan identik dengan ada liyan-bagi saya. Saya pertama-tama melihat liyan itu sebagai seseorang yang baginya saya berada sebagai obyek.[15] Tetapi otonomitas diri saya menolak hal ini. Saya harus menjadikannya sebagai obyek. Perjumpaan yang ditandai oleh aktivitas saling mengobyektivasi menciptakan cara pandang yang sangat ekstrim tentang liyan. Liyan dipandang sebagai obyek yang harus ditaklukan dibawah ‘sorot mata’[16] saya sebagai subyek. Kehadirannya sebagai ‘ada’ yang independen disangkal. Liyan dipandang sebagai sesuatu yang absurd. Liyan bagi saya dalam hal ini merupakan objek yang memungkinkan diri saya untuk menemukan diri saya sendiri. Dalam konteks ini juga liyan merupakan sesuatu yang juga dapat menjadi penghalang bagi diri saya untuk bergumul dengan diri saya sendiri. Oleh karena liyan itu harus disingkirkan.

Relasi Diri dengan Liyan
            Suatu hari saya berpapasan dengan seorang gadis cantik. Tatapan mata saya langsung tertuju kepada gadis itu. Dia tampak begitu cantik bagi saya. Saya sungguh menikmati tampilan gadis cantik itu. Sorot mata saya yang tertuju kepadanya berlangsung cukup lama. Ternyata  gadis itu mengetahui bahwa saya sedang menatapnya. Ia berreaksi dengan memalingkan wajahnya yang seketika itu juga merona merah. Saya tersenyum puas menyaksikan peristiwa itu. Tanpa sepengetahuan saya, ternyata teman saya memperhatikan perbuatan saya itu. Ia mengomentari perbuatan saya itu; “hati-hati dengan matamu.” Komentar teman saya ini mengejutkan saya. Saya menjadi malu karena merasa dipergoki oleh teman saya.
            Ilustrasi di atas menggambarkan bagaimana relasi saya dengan yang lain dalam pandangan Sartre. Aktivitas penting dari ilustrasi ini adalah ‘mengamati.’ Aktivitas ‘mengamati’ mengandaikan ada obyek yang sedang diamati. Si gadis menjadi obyek dari pengamatan saya. Dengan kata lain ‘ia menjadi obyek bagi saya sebagai subyek.’ Tindakan saya ini membuat ia merasa tidak nyaman. Ia sadar ia telah diobyektivasi. Reaksinya memalingkan wajah dan wajahnya yang merona merah merupakan tanda perlawanannya terhadap tindakan saya. Ia merasa kebebasannya dilingkupi oleh ‘sorot mata saya.’ Tanpa saya sadari pula, saya telah menjadi obyek bagi teman saya yang mengamati perbuatan saya itu. Saya merasa malu karena dipergoki oleh teman saya. Perasaan malu saya merupakan bentuk ketidaknyamanan karena saya menyadari bahwa saya telah menjadi obyek bagi teman saya. Pengalaman ‘menatap’ dan ‘dipergoki’ dalam hal ini tidak dimaknai sekadar sebagai perbuatan, tetapi merupakan ungkapan eksistensial seseorang. Melalui tindakan ‘menatap’ seseorang mendefinisikan dirinya dengan mengobyektivasi yang lain.
Relasi antara saya dengan liyan dalam pemikiran Sartre selalu ditandai oleh aktivitas saling mengobyektivasi. Kenyataan ini menjadikan relasi antarmanusia itu sebagai sebuah relasi yang berdasar atas konflik. Setiap pribadi berupaya untuk mengobyektivasi yang lain melalui ‘sorot matanya’ (the look [l’regard]). Sorot mata menjadikan orang merasa tidak bebas karena kehadiran orang lain. Sorot mata yang tertuju kepada saya tidak dapat menjadi bagian dari diri saya. Saya harus dapat melihat atau membayangkan seseorang yang akan melihat saya sebelumnya. Karena dengan sorotan mata orang lain itu saya merasa lebih dipaksakan olehnya daripada oleh diri saya sendiri. Dengan kata lain, sorot matanya menjadikan saya obyek bagi dia di saat saya juga mengakui diri sebagai yang ada.[17] Saya pun melakukan hal yang serupa terhadap liyan. Liyan sedapat mungkin ditaklukkan oleh sorot mata saya ketika saya mengobyektivasi dia. Liyan menampakan kepada saya “apa saya itu.”[18] Diri sebagai realitas inti persona memanfaatkan kehadiran liyan untuk mendefenisikan dirinya. Dalam hal ini diri berusaha untuk memetakan keunggulan-keunggulannya pada liyan. Hubungan antarmanusia dalam konteks ini merupakan suatu aktivitas mereduksi keberadaan dan peran yang lain.
Relasi diri dan liyan adalah relasi subyek-obyek. Liyan merupakan obyek yang harus ditaklukkan agar diri dapat mendefenisikan keberadaannya. Liyan sedapat mungkin selalu berada di bawah sorot mata saya. Karena melalui sorot mata itu saya menegaskan otonomitas diri saya atas liyan. Namun harus diakui pula bahwa seketika itu juga liyan dari dirinya sendiri berusaha untuk membebaskan dirinya dari penguasaan saya. Dari dirinya sendiri ia pasti berreaksi pada tindakan saya yang mengobyektivasi dia. Ketika diri saya mencoba untuk memperbudak dia, dia dari dirinya sendiri juga melakukkan aktivitas serupa.[19] Kenyataan ini merupakan suatu fenomena konflik yang pada akhirnya bisa berujung pada kebencian yang mendalam terhadap liyan. Sartre sendiri pernah mengungkapkan bahawa ‘neraka adalah orang lain’. Ungkapan ini tentunya berakar pada cara pandangnya terhadap orang lain (liyan). Orang lain yang hadir bersama saya dalam hidup ini dianggap sebagai neraka yang mengekang kebebasan saya untuk merealisasikan diri saya.

Kritik
            Dalam menguraikan eksistensi manusia Sartre bisa dianggap terlalu ekstrim. Penekanannya pada otonomitas ‘diri’ yang berlebihan untuk bereksistensi menghantarnya pada kesimpulan bahwa kebebasan manusia itu mutlak. Sartre sepertinya hanya melihat segi kebebasan dalam diri manusia. Unsur lain yang harusnya tidak boleh diabaikan adalah daya manusia untuk mencintai dan kebutuhannya untuk dicintai. ‘Mencintai’ merupakan suatu aktivitas dari diri manusia untuk mendefenisikan dirinya. ‘Mencintai’ mengandaikan seseorang mampu keluar dari dirinya menyatu dengan sesuatu atau seseorang yang dicintainya. Tindakan ‘mencintai’berarti gerakan dari ‘aku’ menuju yang lain dengan sikap lupa diri yang kurang mementingkan diri, sebab tanpa akseptasi itu orang lain tidak mungkin dapat diterima menurut apa adanya.[20] Hal ini tentunya bertentangan dengan pandangan Sartre. Bagi Sartre membiarkan diri menyatu dengan sesuatu atau seseorang yang dicintai berarti membiarkan diri ditaklukan oleh sesuatu yang lain dari diri. Dengan demikian sesorang berusaha untuk menyangkali kebebasannya. Hal inilah yang menghantar Sartre kepada kesimpulan bahwa cinta selalu berakhir dengan kegagalan. Karena semakin kita mencoba untuk mereduksi diri kita sebagai obyek semata, semakin kita menyadari diri sebagai subyek yang mencoba menjalankan pereduksian itu.[21]
            Pandangan Sartre ini sebenarnya merupakan penolakan terhadap realitas bahwa sesorang pasti memerlukan kehadiran yang lain dalam ikatan cinta. Apakah seseorang bisa hidup sendiri tanpa cinta dari sesamanya? Seorang yang dalam keadaan sangat kritis dan membutuhkan uluran tangan kasih sesamanya tidak akan mungkin memandang itu sebagai suatu reduktivitas terhadap keberadaannya. Bantuan dari orang lain justru merupakan suatu penyelamatan terhadap keberlangsungan keberadaannya. Pengalaman ada bersama orang lain bukan pertama-tama adalah pengakuan akan eksistensi saya sebagai pribadi, tetapi sebenarnya adalah ungkapan eksistensi manusia universal.
            Pandangan Sartre tentang liyan sebagai sesuatu yang absurd merupakan bentuk penolakan akan kehadiran sesama. Kenyataannya setiap orang pasti hidup secara komunal. Dalam kehadiran bersama setiap orang tergabung baik dalam kelompok yang terlembagakan maupun perkumpulan yang sepontan. Dalam suatu lembaga setiap orang berusaha untuk berperan secara fungsional untuk menyokong keberlangsungan dari lembaga itu. Jika kehadiran orang lain dalam hal ini selalu dipandang sebagai suatu yang absurd lembaga itu tentunya tidak bisa terbentuk dan berlangsung. Dalam kehadiran bersama orang lain di suatu tempat umum seseorang pun tetap membutuhkan orang lain jika ia ingin menanyakan sesuatu hal yang penting untuk dirinya.
Konflik memang kerap terjadi baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bersama. Permusuhan dan kekerasan terjadi karena adanya konflik. Tetapi untuk memperoleh kenyamanan dan kebahagiaan setiap orang pasti mengupayakan keharmonisan dengan jalan penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik mengandaikan setiap orang mampu menerima sesama apa adanya (bukan seturut interpretasi dirinya sendiri). Dalam hal ini semua pihak yang berkonflik harus bisa keluar dari dirinya sendiri agar bisa mewujudkan perdamaian. Sehingga tidak mungkin kebebasan yang mutlak itu ada dalam tatanan hidup bersama. Kebahagiaan hidup tidak semata-mata didapati dalam kebebasan yang mutlak tetapi juga dalam menerima kehadiran sesama sebagai diri saya yang lain.
Setiap orang ingin merealisasikan keberadaannya dalam kehidupan ini dan berupaya untuk mempertahankan subyektivitasnya itu dengan mengobyektivasi yang lain. Banyak persoalan kemanusiaan dewasa ini dapat kita telaah dari sudut pandang Sartre. Penekanan akan kebebasan yang mutlak dalam diri setiap manusia seringkali menimbulkan benturan dalam relasi antarmanusia. Misalkan saja konflik antarpribadi yang seringkali terjadi dalam suatu lingkungan tempat tinggal. Setiap pribadi merupakan subyek dari kehidupan yang secara eksistensial memiliki kebebasan. Masing-masing pribadi pasti merealisasikan kebebasannya itu. Perealisasian kebebasan itu seringkali menimbulkan konflik antarpribadi. Konflik itu terjadi ketika setiap pribadi berusaha untuk mengoptimalkan kebebasannya tanpa memperhatikan pribadi lain yang juga memiliki kebebasan. Misalnya dalam ruang hidup yang kecil seperti dalam sebuah keluarga. Seorang suami bertengkar dengan istrinya dapat saja terjadi karena yang satu menginginkan yang lain bertindak seperti yang diinginkannya, tetapi yang lain dengan itu merasa dikekang. Inilah bentuk konkrit dari tindakan saling mengobyektivasi. Seorang istri dalam dirinya merasa kehadiran sang suami disampingnya sebagai sosok yang tidak menyenangkan ketika keinginan keduanya tidak sejalan. Konflik selalu muncul sebagai bentuk dari benturan otonomitas diri keduanya yang kerap memiliki kehendak yang berbeda. Seorang istri dipandang sebagai liyan yang mestinya disingkirkan ketika dia menghalangi suaminya untuk berselingkuh, atau bisa juga sebaliknya. Seorang suami menempatkan istrinya sebagai liyan yang memuakkan ketika ia memandang curiga kepada istrinya yang berteman dengan pria lain.
Dalam budaya kita yang pada umumnya bercirikan patriarkat, perempuan seringkali dinomorduakan. Perempuan ada untuk menegaskan maskulinitas para lelaki. Secara konkrit misalnya dalam orientasi seks lelaki. Perempuan seringkali dipandang hanya sebatas obyek pemenuhan kebutuhan seksualitas para lelaki. Perempuan tidak jarang menjadi liyan yang vulnerable tatkala menjadi korban kekerasan. Mereka menjadi obyek yang mengukuhkan lelaki sebagai lelaki sejati.[22] Perempuan dalam budaya patriarkat merupakan liyan yang harus dikontrol oleh laki-laki. Padahal sejatinya mereka adalah juga manusia seperti laki-laki yang martabat kemanusiaannya juga harus dijunjung tinggi, sebagaimana laki-laki menjunjung tinggi martabatnya sendiri. Perempuan sebagai manusia juga memiliki dalam dirinya otonomitas untuk merealisasikan dirinya. Sebagai manusia, dari dalam dirinya ia pasti memberontak melawan dominasi kaum lelaki.
Fenomena kekerasan yang kerap terjadi dalam masyarakat kita pun seringkali disebabkan oleh konflik yang didasarkan pada saling mengobyektivasi. Setiap orang yang tergabung dalam satu kelompok memiliki kepentingan bersama yang harus dipertahankan. Ketika kepentingan dari suatu kelompok dirasakan terhalangi oleh kelompok lain sangat meungkinkan terjadinya konflik antara keduanya. Di negara kita sangat rentan terjadi berbagai kasus yang berbau konflik SARA. Contohnya, fenomena kekerasan terhadap pemeluk-pemeluk agama minoritas oleh pemeluk agama yang mayoritas. Kelompok pemeluk agama yang mayoritas berusaha untuk menguasai pemeluk agama yang minoritas. Misalnya dalam membuat peraturan dalam kehidupan bersama. Peraturan yang sejatinya hanya memuat kepentingan kelompok mayoritas harus dijalankan juga oleh kelompok lain yang tidak membutuhkan peraturan seperti itu. Kelompok mayoritas merupakan liyan yang harus ditaklukkan. Lebih lagi kalau keberadaan kelompok kecil itu dianggap mengganggu otonomitas agama mayoritas. Kasus kekerasan terhadap pemeluk agama-agama minoritas dalam hal ini sangat rentan terjadi.
Pemikiran Sartre ini secara positif memberikan sumbangan yang sangat besar dalam menumbuhkan kesadaran akan hak asasi kaum tertindas. Orang-orang tertindas (vulnerable) terus terkungkung dalam ketertindasannya oleh karena tidak adanya kesadaran akan kebeeradaannya sebagai manusia bebas. Mereka harus sadar bahwa mereka adalah manusia bebas seperti manusia lain, yang membuat mereka tertindas. Kesadaran akan kebebasan ini pertama-tama membangkitkan kesadaran akn hak asasi mereka sebagai manusia. Misalnya dalam perjuangan melawan penindasan terhadap rasa tertentu. Kejahatan membunuh semua orang dari ras tertentu tidak dapat dipungkiri kerap terjadi dalam sejarah kita. Pembasmian terhadap ras Yahudi oleh rejim Hitler, kejahatan Genosida di Bosnia, atau pengejaran terhadap etnis Tiongkok yang pernah terjadi di Indonesia adalah contoh-contohnya. Dari dirinya sendiri mereka harus memiliki kesadaran untuk memperjuangkan kebebasan mereka. Perjungan akan hak-hak kaum buruh, orang-orang miskin, dan kaum perempuan juga harus dimulai dengan kesadaran akan kebebasan mereka sendiri. Inilah sumbangan humanis Sartre yang patut kita apresiasikan.
Namun tak dapat disangkali pula bahwa perjuangan untuk menegakkan hak-hak kaum tertindas itu serngkai berlangsung malalui jalan kekerasan. Ketika mereka memiliki kesadaran akan kebebasan mereka yang mutlak, mereka akan memperjuangkan hak-haknya dengan berbagai cara. Misalkan saja fenomena demonstrasi parah buruh yang seringkali berujung pada aksi kekerasan. Mereka menuntut hak-hak dan kebebsannya diakui oleh berbagai pihak tetapi dengan cara-cara anarkis.
Konflik  antarpribadi, antarkelompok, atau cara pandang orang terhadap orang lain merupakan produk dari penekanan terhadap otonomitas diri seseorang. Kita boleh menyangkal bahwa kebebasan yang mutlak itu tidaklah mungkin, namun realitas membuktikan bahwa tidak jarang kebebasan dari orang lain direduksi demi kebebasan pribadi kita. Pandangan Sartre tentang diri dan liyan dan bagaiman relasi antara keduannya memberikan pencerahan bagi kita untuk bisa memahami fenomena kehidupan kita. Diri bagi Sartre adalah subyek yang secara mutlak memiliki kebebasan. Ia bebas untuk mengobyektivasi liyan dengan sorot matanya. Liyan adalah ‘yang lain’ yang harus ditaklukan oleh kebebasan saya. Dalam kenyataannya kita masing-masing berusaha untuk saling menaklukan. Sehingga relasi antara diri dan liyan selalu merupakan sebuah relasi konflik. Sebagai manusia yang secara eksistensial memiliki kebebasan sekaligus di satu sisi memiliki kecendrungan membutuhkan sesama, bagaimana kita memandang liyan? Satu hal yang harus selalu kita ingat, yaitu kebebasan yang kita miliki adalah kebebasan di antara pribadi lain yang juga secara hakiki memiliki kebebasan.




[1] Jean-Paul Sartre lahir pada tanggal 21 Juni1905. Ayahnya seorang perwira angkatan laut Perancis dan ibunya Anne Marie Schweitzer, anak bungsu dari Charles Schweitzer, seorang guru besar bahasa dan sastra Jerman di Alsace. Ayahnya meninggal dua tahun setelah kelhirannya. Sejak kecil ia didik oleh kakeknya, Charles Schweitzer. Setelah berumur sepuluh tahun empat bula ia masuk sekolah di Lycee Henri IV di Paris. Tahun berikutnya, karena ibunya menikah lagi mereka pindah ke La Rochele. Selang beberapa tahun ia disekolahkan lagi ke Paris yaitu di Lycee Louis-le-grand. Pada 1924 ia masuk di Ecole normale superieure, salah satu perguruan yang paling selektif dan terkemuka di Perancis. Sekitar tahun 1929 ia berkenalan dengan Simone de Beauvoir, mahasiswi filsafat di universitas Sorbonne, yang kemudian menjadi sahabat dekatnya. Sejak tahun1931 Sartre mengajar sebagai guru Filsafat di beberapa Lycees. Ia dikenal juga sebagai seorang sastrawan. Karya-karyanya yang sanga terkenal adalah Ada dan Ketiadaan, Eksistensialisme adalah suatu Humanisme, dan begitu banyak karyanya dalam bidang sastra. Ia meninggal pada 15 April 1980. (Diringkas dari K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, hlm 89-99).
[2] Ted Honderich, Ed. The Oxford Companion to Philosophy, New York: Oxford University Press, 1995, hlm. 816.
[3] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 168.
[4] Dr. Konrad Kebung,SVD, Rasionalisasi dan penemuan Ide-Ide, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008, hlm. 92.
[5] Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, (sebuah terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dari karya Jean Paul Sartre: Existentialism and Humanism) Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 44.
[6] Bdk. Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness (diterjemahkan dari karya Jean-Paul Sartre: L’être et le néant oleh; Hezel E. Barnes), New York: Pocket Books, 1973, hlm. 25.
[7] Ibid.
[8] Jean-Paul Sartre, Op. Cit. , hlm. 29.
[9]Bdk.  Internet Encyclopedia of Philosophy, http://www.iep.utm.edu/sartre-ex/#SH5a, diakses pada 14 Oktober 2010.
[10] Francis Jeanson, Sartre and The Problem of Morality, Bloomington: Indiana University Press, 1980, hlm. 160.
[11] Bdk. K. Bertens, Op. Cit., hlm. 103.
[12] Jean-Paul Sartre, Op. Cit., hlm. 133.
[13] Ted Honderich, Ed.,Op. Cit., hlm. 637
[14] Bdk. Rosemarie Putman Tong, Feminis Tought, Yogyakarta: Jalasutra, 2009, hlm. 255.
[15] Jean-Paul Sartre, Op. Cit., hlm. 445.
[16] Dalam bukunya, Filsafat Barat Kontemporer K. Bertens menerjemahkan l’regard atau The Look ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah; ‘sorot mata’.
[17] Bdk. Francis Jeanson, Sartre andThe Problem of Morality, Bloomington: Indiana University Press, 1980: hlm. 160.
[18] Bdk. Ibid.
[19] Bdk. Rosemarie Putman Tong, Op. Cit., hlm. 256.
[20] Erich Fromm, Masyarakat Bebas Agresivitas, Bunga Rampai Karya Erich Fromm, Maumere: Ledalero, 2004, hlm. 79.
[21] Rosemarie Putman Tong, Op. Cit., hlm. 260.
[22] Bdk. Ibid., hlm. 267.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar