Diri
(self) merupakan obyek material dari
permenungan tentang eksistensi manusia. Oleh karena itu permenungan akan
eksistensi manusia merupakan upaya untuk memahami
diri sebagai inti keberadaan manusia. Proses permenungan akan diri ini tidak
terlepas dari merenungkan identitasnya sebagai ‘diri’ dalam kehadirannya di
antara ‘yang lain’ yang berada di luarnya. Liyan
(Other) merupakan ‘yang lain’ yang
berada di luar ‘diri’. Jean-Paul Sartre[1]
merupakan salah satu filsuf eksistensialis yang secara radikal menguraikan
eksistensi ‘diri’ manusia dan hubungannya dengan ‘yang lain’ (liyan). Bagaimana pandangan Sartre
tentang diri, liyan,dan hubungan antara keduannya?
Diri
Term
‘self’ kerapkali digunakan berkaitan
dengan orang (person), walaupun
penekanannya selalu pada inti atau pusatnya atau lebih pada dimensi psikologis
daripada mengungkapkan bagian luar atau tubuh seseorang.[2]
Self merupakan sebuah kata yang
mengungkapkan realitas inti persona.
Term ini selalu muncul dalam uraian tentang kedirian manusia. Dalam
bahasa Indonesia, self diterjemahkan
dengan kata “diri.” Terminologi ini merujuk pada ‘pelaku’ yang bertindak
berdasarkan hakekatnya sendiri.[3]
Dalam ranah filsafat ‘diri’ mendapat tempat penting, terutama dalam permenungan
eksistensi manusia.
Ungkapan
Rene Descartes: “Cogito ergo sum” (saya
berpikir maka saya ada), telah membuka cara baru dalam permenungan filosofis
untuk memahami manusia. Ia menekankan
kesadaran akan otonomitas diri manusia untuk menemukan keberadaan ‘diri’nya dan
segala sesuatu yang lain. Diri merupakan pusat kesadaran akan diri itu sendiri
dan yang lain yang berada di luar diri. Namun permenungan kesadaran Descartes
ini merupakan suatu permenungan kesadaran yang tertutup. Berbeda dengan
Descartes, para filsuf eksistensialis menjelaskan kesadaran yang terbuka.
Mereka mengakui dalam segala sesuatu yang lain seseorang menemukan kesadaran
akan dirinya. Segala sesuatu yang lain diakui sebagai ‘ada’ yang juga
mendefenisikan keberadaan seorang manusia. Dengan demikian ‘diri’ manusia tetap
merupakan titik tolak untuk menguraikan keberadaan manusia dalam dirinya dan di
antara segala sesuatu yang lain.
Sartre
mencurahkan perhatian penuh pada eksistensi individu. Ia menguraikan eksistensi
manusia dengan bertitik tolak pada pandangan bahwa pada manusia secara hakiki
eksistensi mendahului esensi. Manusia memiliki perbedaan yang sangat
fundamental dengan mahluk lain dan benda-benda yang ada di sekitarnya. Karena
dalam benda-benda dan mahluk lain esensi mendahului eksistensi.[4]
Eksistensi mendahului esensi menegaskan bahwa; pertama-tama manusia ada,
berhadapan dengan dirinya sendiri ( itself
), terjun ke dalam dunia – dan barulah setelah itu ia mendefinisikan dirinya.[5]
Dalam pendefinisian
diri ini
aktivitas kesadaran memiliki peranaan penting. Dalam dirinya sendiri seseorang
sadar akan keberadaan dirinya dan dalam segala sesuatu yang lain pun ia sadar
akan ‘diri’nya. Sehingga kesadaran akan orang lain bukan sebagai bentuk
afirmasi terhadap kehadiran orang lain, tetapi sebuah negasi terhadap kehadiran
orang lain. Karena orang lain hadir bukan pertama-tama ada sebagai dirinya
sendiri, tetapi sebagai obyek yang menrangkan keberadaan saya.
Dalam
mengontologi keberadaan manusia, Sartre mengemukakan manusia pada hakikatnya
pertama-tama ‘ada pada dirinya sendiri’ yang mengungkapkan ia identik sama
sekali dengan dirinya. Inilah salah satu cara berada manusia, yang dalam
istilah Sartre; l’être-en-soi (being-in-itself: ‘ada pada dirinya’).[6]
Tetapi jika ada itu-pada-dirinya sendiri, maka itu berarti bahwa tidak merujuk
pada kesadaran diri.[7]
Karena ada ini tidak dapat diturunkan dari sebuah kemungkinan atau direduksikan
pada suatu kebutuhan.[8]
‘Ada’ ini secara potensial ada dalam diri manusia itu sendiri dan ada begitu
saja. Being-in-itself menegaskan diri sebagai inti keberadaan manusia.
‘Diri’ menjadi inti identitas kemanusiaan. Menguraiakan eksistensi manusia
berarti menguraikan hakikat dirinya. Dalam
permenungan tentang ‘being-in-itself ‘
dapat dimengerti pandangan Sartre tentang diri. Di sini kita menemukan diri
merupakan inti subyek dalam permenungan tentang eksistensi manusia sekaligus
menjadi obyek dari permenungan filosofis Sartre.
Kesadaran akan kesubyekan ego beserta segala aspek kediriannya (pikiran, emosi, dan
sebagainya) sekaligus membawa konsekwensi bahwa, ia sadar ia tidak identik
dengan segala sesuatu yang ada di luar dirinya. Kesadaran diri bahwa ia unik
mengandaikan suatu kesadaran akan sesuatu yang berada di luar dirinya.
Kesadaran itu selalu kesadaran ‘dari sesuatu’ sehingga ‘diri’ didefenisikan
dalam kaitannya dengan sesuatu yang lain.[9] Dalam hal ini, yang lain itu merupakan
perantara bagi saya (me) dan diri
saya (myself) oleh karena yang lain
itu telah menampakan kepada saya ‘apa saya itu.’[10]
Dalam kesadaran akan sesuatu itulah ’diri’ menjadi pusat dari kesadaran itu.
Hal ini dipahami sebagai suatu cara berada yang baru. Cara berada ini terbentuk
ketika seseorang menyadari otentisitas identitas dirinya dalam sesuatu yang
lain. Hal ini berarti dalam kesadaran itu ia ‘ada-bagi-dirinya’ sendiri.
manusia yang kedua menurut Sartre yaitu ‘ada-bagi-dirinya’ (être-pour-soi).[11]
Cara berada ini merupakan fondasi dari kesadran
akan eksistensinya.[12]
Dengan demikian ‘diri’ dalam konteks pemikiran Sartre ini merupakan suatu pusat
pencarian manusia. Meskipun ia hadir dalam dunia bersama yang lain, ‘dirinya’
menjadi pusat dari segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Ia mengenal segala
sesuatu disekitarnya dalam konteks untuk mendefenisikan dirinya dan membedakan
dirinya dari yang lain itu.
Pandangan
tentang ‘diri’ yang sangat menekankan subyektivitasnya ini tentunya memiliki
konsekwensi yang besar bagi pemikirannya tentang liyan. Bertitik tolak pada kesadaran akan dirinya, seseorang
berusaha mengobyektivasi realitas ada yang lain di sekitarnya untuk menemukan
dan atau mendefenisikan dirinya. Sehingga manusia dalam dirinya adalah otonom.
Ia bebas mendefenisikan dirinya secara absolut. Inilah yng menjadi dasar dari
pandangan Sartre bahwa kebebasan manusia itu mutlak.
Liyan
Pemahaman
utama dari liyan adalah sesuatu yang
lain dari manusia itu sendiri atau yang memiliki perbedaan darinya.[13]
Liyan merupakan sesuatu yang berdiri di luar diri
dan berbeda dari diri. Meskipun
sesuatu yang terpisah dari diri, liyan merupakan realitas ada yang juga
mengukuhkan keberadaan diri.
Dalam
kenyataan hidup sehari-hari setiap orang hadir bersama-sama dengan orang lain
dalam satu ruang dan waktu. Tentunya interaksi antarpersona baik secara
langsung maupun tidak langsung tidak dapat dihindari. Dalam konteks perjumpaan
dengan orang lain ini Sartre menambahkan cara berada yang ketiga, yaitu
‘ada-bagi-yang lain.’ [14]
Cara berada ini selalu berciri konfliktual oleh karena setiap orang berusaha
untuk mendefenisikan dirinya di dalam yang lain dan menjadikan yang lain itu
sebagai objek. Pemikiran ini menjelaskan kepada kita bagaimana cara seseorang
memandang yang lain. Otonomitas ‘diri’ untuk menemukan dirinya di dalam yang
lain memiliki konsekwensi; ‘yang lain itu harus diobyektivasi.’ Kehadiran yang
lain sebagai realitas ada yang juga independen disangkal. Dirinya sendiri
menjadi pusat dan yang lain dimasukkan dalam dunianya. Ia bebas
menginterpretasi dunianya. Ia bebas untuk mengobyektivasi dunia itu termasuk
segala sesuatu yang ada disekitarnya. Kesadaran lain pun berlaku demikian
terhadapnya.
Pengalaman ada bersama orang lain
membawa konsekwensi bahwa ‘diri’ saya juga ada bagi yang lain (exist for others). Dalam kenyataannya
kita telah membangun struktur ada saya-bagi-liyan
identik dengan ada liyan-bagi saya.
Saya pertama-tama melihat liyan itu
sebagai seseorang yang baginya saya berada sebagai obyek.[15]
Tetapi otonomitas diri saya menolak hal ini. Saya harus menjadikannya sebagai
obyek. Perjumpaan yang ditandai oleh aktivitas saling mengobyektivasi
menciptakan cara pandang yang sangat ekstrim tentang liyan. Liyan dipandang sebagai obyek yang harus ditaklukan dibawah
‘sorot mata’[16]
saya sebagai subyek. Kehadirannya sebagai ‘ada’ yang independen disangkal. Liyan dipandang sebagai sesuatu yang absurd. Liyan bagi saya dalam hal ini merupakan objek yang memungkinkan
diri saya untuk menemukan diri saya sendiri. Dalam konteks ini juga liyan merupakan sesuatu yang juga dapat
menjadi penghalang bagi diri saya untuk bergumul dengan diri saya sendiri. Oleh
karena liyan itu harus disingkirkan.
Relasi Diri dengan Liyan
Suatu hari saya berpapasan dengan
seorang gadis cantik. Tatapan mata saya langsung tertuju kepada gadis itu. Dia
tampak begitu cantik bagi saya. Saya sungguh menikmati tampilan gadis cantik
itu. Sorot mata saya yang tertuju kepadanya berlangsung cukup lama.
Ternyata gadis itu mengetahui bahwa saya
sedang menatapnya. Ia berreaksi dengan memalingkan wajahnya yang seketika itu
juga merona merah. Saya tersenyum puas menyaksikan peristiwa itu. Tanpa
sepengetahuan saya, ternyata teman saya memperhatikan perbuatan saya itu. Ia
mengomentari perbuatan saya itu; “hati-hati dengan matamu.” Komentar teman saya
ini mengejutkan saya. Saya menjadi malu karena merasa dipergoki oleh teman
saya.
Ilustrasi di atas menggambarkan
bagaimana relasi saya dengan yang lain dalam pandangan Sartre. Aktivitas
penting dari ilustrasi ini adalah ‘mengamati.’ Aktivitas ‘mengamati’
mengandaikan ada obyek yang sedang diamati. Si gadis menjadi obyek dari
pengamatan saya. Dengan kata lain ‘ia menjadi obyek bagi saya sebagai subyek.’
Tindakan saya ini membuat ia merasa tidak nyaman. Ia sadar ia telah
diobyektivasi. Reaksinya memalingkan wajah dan wajahnya yang merona merah
merupakan tanda perlawanannya terhadap tindakan saya. Ia merasa kebebasannya
dilingkupi oleh ‘sorot mata saya.’ Tanpa saya sadari pula, saya telah menjadi
obyek bagi teman saya yang mengamati perbuatan saya itu. Saya merasa malu
karena dipergoki oleh teman saya. Perasaan malu saya merupakan bentuk
ketidaknyamanan karena saya menyadari bahwa saya telah menjadi obyek bagi teman
saya. Pengalaman ‘menatap’ dan ‘dipergoki’ dalam hal ini tidak dimaknai sekadar
sebagai perbuatan, tetapi merupakan ungkapan eksistensial seseorang. Melalui
tindakan ‘menatap’ seseorang mendefinisikan dirinya dengan mengobyektivasi yang
lain.
Relasi
antara saya dengan liyan dalam
pemikiran Sartre selalu ditandai oleh aktivitas saling mengobyektivasi.
Kenyataan ini menjadikan relasi antarmanusia itu sebagai sebuah relasi yang
berdasar atas konflik. Setiap pribadi berupaya untuk mengobyektivasi yang lain
melalui ‘sorot matanya’ (the look
[l’regard]). Sorot mata menjadikan orang merasa tidak bebas karena
kehadiran orang lain. Sorot mata yang tertuju kepada saya tidak dapat menjadi
bagian dari diri saya. Saya harus dapat melihat atau membayangkan seseorang
yang akan melihat saya sebelumnya. Karena dengan sorotan mata orang lain itu
saya merasa lebih dipaksakan olehnya daripada oleh diri saya sendiri. Dengan
kata lain, sorot matanya menjadikan saya obyek bagi dia di saat saya juga
mengakui diri sebagai yang ada.[17]
Saya pun melakukan hal yang serupa terhadap liyan.
Liyan sedapat mungkin ditaklukkan
oleh sorot mata saya ketika saya mengobyektivasi dia. Liyan menampakan kepada saya “apa saya itu.”[18]
Diri sebagai realitas inti persona memanfaatkan kehadiran liyan untuk mendefenisikan dirinya. Dalam hal ini diri berusaha
untuk memetakan keunggulan-keunggulannya pada liyan. Hubungan antarmanusia dalam konteks ini merupakan suatu
aktivitas mereduksi keberadaan dan peran yang lain.
Relasi
diri dan liyan adalah relasi
subyek-obyek. Liyan merupakan obyek
yang harus ditaklukkan agar diri dapat mendefenisikan keberadaannya. Liyan sedapat mungkin selalu berada di
bawah sorot mata saya. Karena melalui sorot mata itu saya menegaskan otonomitas
diri saya atas liyan. Namun harus
diakui pula bahwa seketika itu juga liyan
dari dirinya sendiri berusaha untuk membebaskan dirinya dari penguasaan saya.
Dari dirinya sendiri ia pasti berreaksi pada tindakan saya yang mengobyektivasi
dia. Ketika diri saya mencoba untuk memperbudak dia, dia dari dirinya sendiri
juga melakukkan aktivitas serupa.[19]
Kenyataan ini merupakan suatu fenomena konflik yang pada akhirnya bisa berujung
pada kebencian yang mendalam terhadap liyan.
Sartre sendiri pernah mengungkapkan bahawa ‘neraka adalah orang lain’. Ungkapan
ini tentunya berakar pada cara pandangnya terhadap orang lain (liyan). Orang lain yang hadir bersama
saya dalam hidup ini dianggap sebagai neraka yang mengekang kebebasan saya
untuk merealisasikan diri saya.
Kritik
Dalam menguraikan eksistensi manusia
Sartre bisa dianggap terlalu ekstrim. Penekanannya pada otonomitas ‘diri’ yang
berlebihan untuk bereksistensi menghantarnya pada kesimpulan bahwa kebebasan
manusia itu mutlak. Sartre sepertinya hanya melihat segi kebebasan dalam diri
manusia. Unsur lain yang harusnya tidak boleh diabaikan adalah daya manusia
untuk mencintai dan kebutuhannya untuk dicintai. ‘Mencintai’ merupakan suatu
aktivitas dari diri manusia untuk mendefenisikan dirinya. ‘Mencintai’
mengandaikan seseorang mampu keluar dari dirinya menyatu dengan sesuatu atau
seseorang yang dicintainya. Tindakan ‘mencintai’berarti gerakan dari ‘aku’
menuju yang lain dengan sikap lupa diri yang kurang mementingkan diri, sebab
tanpa akseptasi itu orang lain tidak mungkin dapat diterima menurut apa adanya.[20]
Hal ini tentunya bertentangan dengan pandangan Sartre. Bagi Sartre membiarkan
diri menyatu dengan sesuatu atau seseorang yang dicintai berarti membiarkan
diri ditaklukan oleh sesuatu yang lain dari diri. Dengan demikian sesorang
berusaha untuk menyangkali kebebasannya. Hal inilah yang menghantar Sartre
kepada kesimpulan bahwa cinta selalu berakhir dengan kegagalan. Karena semakin
kita mencoba untuk mereduksi diri kita sebagai obyek semata, semakin kita
menyadari diri sebagai subyek yang mencoba menjalankan pereduksian itu.[21]
Pandangan Sartre ini sebenarnya
merupakan penolakan terhadap realitas bahwa sesorang pasti memerlukan kehadiran
yang lain dalam ikatan cinta. Apakah seseorang bisa hidup sendiri tanpa cinta
dari sesamanya? Seorang yang dalam keadaan sangat kritis dan membutuhkan uluran
tangan kasih sesamanya tidak akan mungkin memandang itu sebagai suatu
reduktivitas terhadap keberadaannya. Bantuan dari orang lain justru merupakan
suatu penyelamatan terhadap keberlangsungan keberadaannya. Pengalaman ada
bersama orang lain bukan pertama-tama adalah pengakuan akan eksistensi saya
sebagai pribadi, tetapi sebenarnya adalah ungkapan eksistensi manusia
universal.
Pandangan Sartre tentang liyan sebagai sesuatu yang absurd merupakan bentuk penolakan akan
kehadiran sesama. Kenyataannya setiap orang pasti hidup secara komunal. Dalam
kehadiran bersama setiap orang tergabung baik dalam kelompok yang terlembagakan
maupun perkumpulan yang sepontan. Dalam suatu lembaga setiap orang berusaha
untuk berperan secara fungsional untuk menyokong keberlangsungan dari lembaga
itu. Jika kehadiran orang lain dalam hal ini selalu dipandang sebagai suatu
yang absurd lembaga itu tentunya
tidak bisa terbentuk dan berlangsung. Dalam kehadiran bersama orang lain di
suatu tempat umum seseorang pun tetap membutuhkan orang lain jika ia ingin
menanyakan sesuatu hal yang penting untuk dirinya.
Konflik
memang kerap terjadi baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan
bersama. Permusuhan dan kekerasan terjadi karena adanya konflik. Tetapi untuk
memperoleh kenyamanan dan kebahagiaan setiap orang pasti mengupayakan
keharmonisan dengan jalan penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik
mengandaikan setiap orang mampu menerima sesama apa adanya (bukan seturut
interpretasi dirinya sendiri). Dalam hal ini semua pihak yang berkonflik harus
bisa keluar dari dirinya sendiri agar bisa mewujudkan perdamaian. Sehingga
tidak mungkin kebebasan yang mutlak itu ada dalam tatanan hidup bersama.
Kebahagiaan hidup tidak semata-mata didapati dalam kebebasan yang mutlak tetapi
juga dalam menerima kehadiran sesama sebagai diri saya yang lain.
Setiap
orang ingin merealisasikan keberadaannya dalam kehidupan ini dan berupaya untuk
mempertahankan subyektivitasnya itu dengan mengobyektivasi yang lain. Banyak
persoalan kemanusiaan dewasa ini dapat kita telaah dari sudut pandang Sartre.
Penekanan akan kebebasan yang mutlak dalam diri setiap manusia seringkali
menimbulkan benturan dalam relasi antarmanusia. Misalkan saja konflik
antarpribadi yang seringkali terjadi dalam suatu lingkungan tempat tinggal.
Setiap pribadi merupakan subyek dari kehidupan yang secara eksistensial
memiliki kebebasan. Masing-masing pribadi pasti merealisasikan kebebasannya
itu. Perealisasian kebebasan itu seringkali menimbulkan konflik antarpribadi.
Konflik itu terjadi ketika setiap pribadi berusaha untuk mengoptimalkan
kebebasannya tanpa memperhatikan pribadi lain yang juga memiliki kebebasan.
Misalnya dalam ruang hidup yang kecil seperti dalam sebuah keluarga. Seorang
suami bertengkar dengan istrinya dapat saja terjadi karena yang satu
menginginkan yang lain bertindak seperti yang diinginkannya, tetapi yang lain
dengan itu merasa dikekang. Inilah bentuk konkrit dari tindakan saling
mengobyektivasi. Seorang istri dalam dirinya merasa kehadiran sang suami
disampingnya sebagai sosok yang tidak menyenangkan ketika keinginan keduanya
tidak sejalan. Konflik selalu muncul sebagai bentuk dari benturan otonomitas
diri keduanya yang kerap memiliki kehendak yang berbeda. Seorang istri
dipandang sebagai liyan yang mestinya
disingkirkan ketika dia menghalangi suaminya untuk berselingkuh, atau bisa juga
sebaliknya. Seorang suami menempatkan istrinya sebagai liyan yang memuakkan ketika ia memandang curiga kepada istrinya
yang berteman dengan pria lain.
Dalam
budaya kita yang pada umumnya bercirikan patriarkat, perempuan seringkali
dinomorduakan. Perempuan ada untuk menegaskan maskulinitas para lelaki. Secara
konkrit misalnya dalam orientasi seks lelaki. Perempuan seringkali dipandang
hanya sebatas obyek pemenuhan kebutuhan seksualitas para lelaki. Perempuan
tidak jarang menjadi liyan yang vulnerable tatkala menjadi korban
kekerasan. Mereka menjadi obyek yang mengukuhkan lelaki sebagai lelaki sejati.[22]
Perempuan dalam budaya patriarkat merupakan liyan
yang harus dikontrol oleh laki-laki. Padahal sejatinya mereka adalah juga
manusia seperti laki-laki yang martabat kemanusiaannya juga harus dijunjung
tinggi, sebagaimana laki-laki menjunjung tinggi martabatnya sendiri. Perempuan
sebagai manusia juga memiliki dalam dirinya otonomitas untuk merealisasikan
dirinya. Sebagai manusia, dari dalam dirinya ia pasti memberontak melawan
dominasi kaum lelaki.
Fenomena
kekerasan yang kerap terjadi dalam masyarakat kita pun seringkali disebabkan
oleh konflik yang didasarkan pada saling mengobyektivasi. Setiap orang yang
tergabung dalam satu kelompok memiliki kepentingan bersama yang harus
dipertahankan. Ketika kepentingan dari suatu kelompok dirasakan terhalangi oleh
kelompok lain sangat meungkinkan terjadinya konflik antara keduanya. Di negara
kita sangat rentan terjadi berbagai kasus yang berbau konflik SARA. Contohnya,
fenomena kekerasan terhadap pemeluk-pemeluk agama minoritas oleh pemeluk agama
yang mayoritas. Kelompok pemeluk agama yang mayoritas berusaha untuk menguasai
pemeluk agama yang minoritas. Misalnya dalam membuat peraturan dalam kehidupan
bersama. Peraturan yang sejatinya hanya memuat kepentingan kelompok mayoritas
harus dijalankan juga oleh kelompok lain yang tidak membutuhkan peraturan
seperti itu. Kelompok mayoritas merupakan liyan
yang harus ditaklukkan. Lebih lagi kalau keberadaan kelompok kecil itu
dianggap mengganggu otonomitas agama mayoritas. Kasus kekerasan terhadap
pemeluk agama-agama minoritas dalam hal ini sangat rentan terjadi.
Pemikiran
Sartre ini secara positif memberikan sumbangan yang sangat besar dalam
menumbuhkan kesadaran akan hak asasi kaum tertindas. Orang-orang tertindas (vulnerable) terus terkungkung dalam
ketertindasannya oleh karena tidak adanya kesadaran akan kebeeradaannya sebagai
manusia bebas. Mereka harus sadar bahwa mereka adalah manusia bebas seperti
manusia lain, yang membuat mereka tertindas. Kesadaran akan kebebasan ini
pertama-tama membangkitkan kesadaran akn hak asasi mereka sebagai manusia.
Misalnya dalam perjuangan melawan penindasan terhadap rasa tertentu. Kejahatan
membunuh semua orang dari ras tertentu tidak dapat dipungkiri kerap terjadi
dalam sejarah kita. Pembasmian terhadap ras Yahudi oleh rejim Hitler, kejahatan
Genosida di Bosnia, atau pengejaran terhadap etnis Tiongkok yang pernah terjadi
di Indonesia adalah contoh-contohnya. Dari dirinya sendiri mereka harus
memiliki kesadaran untuk memperjuangkan kebebasan mereka. Perjungan akan
hak-hak kaum buruh, orang-orang miskin, dan kaum perempuan juga harus dimulai
dengan kesadaran akan kebebasan mereka sendiri. Inilah sumbangan humanis Sartre
yang patut kita apresiasikan.
Namun
tak dapat disangkali pula bahwa perjuangan untuk menegakkan hak-hak kaum
tertindas itu serngkai berlangsung malalui jalan kekerasan. Ketika mereka memiliki
kesadaran akan kebebasan mereka yang mutlak, mereka akan memperjuangkan
hak-haknya dengan berbagai cara. Misalkan saja fenomena demonstrasi parah buruh
yang seringkali berujung pada aksi kekerasan. Mereka menuntut hak-hak dan
kebebsannya diakui oleh berbagai pihak tetapi dengan cara-cara anarkis.
Konflik antarpribadi, antarkelompok, atau cara
pandang orang terhadap orang lain merupakan produk dari penekanan terhadap
otonomitas diri seseorang. Kita boleh menyangkal bahwa kebebasan yang mutlak
itu tidaklah mungkin, namun realitas membuktikan bahwa tidak jarang kebebasan
dari orang lain direduksi demi kebebasan pribadi kita. Pandangan Sartre tentang
diri dan liyan dan bagaiman relasi
antara keduannya memberikan pencerahan bagi kita untuk bisa memahami fenomena
kehidupan kita. Diri bagi Sartre adalah subyek yang secara mutlak memiliki
kebebasan. Ia bebas untuk mengobyektivasi liyan
dengan sorot matanya. Liyan adalah
‘yang lain’ yang harus ditaklukan oleh kebebasan saya. Dalam kenyataannya kita
masing-masing berusaha untuk saling menaklukan. Sehingga relasi antara diri dan
liyan selalu merupakan sebuah relasi
konflik. Sebagai manusia yang secara eksistensial memiliki kebebasan sekaligus
di satu sisi memiliki kecendrungan membutuhkan sesama, bagaimana kita memandang
liyan? Satu hal yang harus selalu
kita ingat, yaitu kebebasan yang kita miliki adalah kebebasan di antara pribadi
lain yang juga secara hakiki memiliki kebebasan.
[1] Jean-Paul Sartre lahir pada tanggal 21 Juni1905.
Ayahnya seorang perwira angkatan laut Perancis dan ibunya Anne Marie
Schweitzer, anak bungsu dari Charles Schweitzer, seorang guru besar bahasa dan
sastra Jerman di Alsace. Ayahnya meninggal dua tahun setelah kelhirannya. Sejak
kecil ia didik oleh kakeknya, Charles Schweitzer. Setelah berumur sepuluh tahun
empat bula ia masuk sekolah di Lycee
Henri IV di Paris. Tahun berikutnya, karena ibunya menikah lagi mereka
pindah ke La Rochele. Selang beberapa tahun ia disekolahkan lagi ke Paris yaitu
di Lycee Louis-le-grand. Pada 1924 ia
masuk di Ecole normale superieure, salah
satu perguruan yang paling selektif dan terkemuka di Perancis. Sekitar tahun
1929 ia berkenalan dengan Simone de Beauvoir, mahasiswi filsafat di universitas
Sorbonne, yang kemudian menjadi sahabat dekatnya. Sejak tahun1931 Sartre
mengajar sebagai guru Filsafat di beberapa Lycees.
Ia dikenal juga sebagai seorang sastrawan. Karya-karyanya yang sanga terkenal
adalah Ada dan Ketiadaan, Eksistensialisme adalah suatu Humanisme, dan begitu
banyak karyanya dalam bidang sastra. Ia meninggal pada 15 April 1980.
(Diringkas dari K. Bertens, Filsafat
Barat Kontemporer, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, hlm 89-99).
[2] Ted Honderich, Ed. The Oxford Companion to Philosophy, New
York: Oxford University Press, 1995, hlm. 816.
[3] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 168.
[4] Dr. Konrad Kebung,SVD, Rasionalisasi dan penemuan Ide-Ide,
Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008, hlm. 92.
[5] Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, (sebuah
terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dari karya Jean Paul Sartre: Existentialism and Humanism) Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 44.
[6] Bdk. Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness (diterjemahkan dari
karya Jean-Paul Sartre: L’être et le néant oleh; Hezel E. Barnes), New
York: Pocket Books, 1973, hlm. 25.
[7] Ibid.
[8] Jean-Paul Sartre, Op. Cit. , hlm. 29.
[9]Bdk.
Internet Encyclopedia of Philosophy, http://www.iep.utm.edu/sartre-ex/#SH5a, diakses pada 14 Oktober 2010.
[10] Francis Jeanson, Sartre and The Problem of Morality, Bloomington:
Indiana University Press, 1980, hlm. 160.
[11] Bdk. K. Bertens, Op. Cit., hlm. 103.
[12] Jean-Paul Sartre, Op. Cit., hlm. 133.
[13] Ted Honderich, Ed.,Op. Cit., hlm. 637
[14] Bdk. Rosemarie Putman Tong, Feminis Tought, Yogyakarta: Jalasutra,
2009, hlm. 255.
[15] Jean-Paul Sartre, Op. Cit., hlm. 445.
[16] Dalam bukunya, Filsafat Barat
Kontemporer K. Bertens menerjemahkan l’regard
atau The Look ke dalam bahasa
Indonesia dengan istilah; ‘sorot mata’.
[17] Bdk. Francis Jeanson, Sartre andThe Problem of Morality, Bloomington:
Indiana University Press, 1980: hlm. 160.
[18] Bdk. Ibid.
[19] Bdk. Rosemarie Putman Tong, Op. Cit., hlm. 256.
[20] Erich Fromm, Masyarakat Bebas Agresivitas, Bunga
Rampai Karya Erich Fromm, Maumere: Ledalero, 2004, hlm. 79.
[21] Rosemarie Putman Tong, Op. Cit., hlm. 260.
[22] Bdk. Ibid., hlm. 267.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar