Selasa, 30 September 2014

CINTA DAN KEBEBASAN (Kumpulan Puisi 1 Nara Sambulawa)

SAJAK JATUH CINTA

Jika engkau sedang jatuh cinta
Engkau tengah merajut masalah
Mencaburkan diri dalam fakta transendensi
Menyebrang melampaui ke-ego-an diri

Jatuh cinta bukan sekadar perkara
Luapan gelora gairah semata
Bukan pula sebatas ekspansi naluri
Yang sarat tendensi kenikmatan diri

Mencintai itu bukan mengurai logika
Sebab jika engkau memiliki rasa cinta
Satu ditamba satu bukan lagi dua
Satu ditamba satu menjadi satu, itulah kita

Ini bukan kidung kematian rasionalitas
Sajak ini tercetus atas realitas
Bahwa cinta memiliki spritualitas
Pemberian diri untuk sebuah integritas***

SUARA PENCINTA KEBEBASAN

Sorot matamu
menggugat adaku
mengekang kebebasanku
merenggut hidupku

Pada sorot matamu
Aku itu sesuatu
Ah! sesuatukah Aku?
Sedangkan Aku bernafas dengan paru-paruku
Bendakah Aku?
Sedangkan Aku berpikir dengan akalku
Obyekkah Aku?
Selagi Aku memberontak dengan rasioku

Pada sorot matamu
Aku bukanlah Aku
jika Aku takluk menjadi sesuatu
bagimu

Sorot matamu
Itu neraka bagiku
membakar, menyulut geramku
Hey Kau!
Kau tak dapat mencabut Aku
dari ke-aku-anku***


CINTA

Cinta itu elaborasi
Hasrat dua pribadi
Yang bergerak keluar dari diri
Membiarkan diri menjadi
Pemberian bagi yang lain
Plenitudo perjumpaan dua hati***


DAMAI WAJAHMU

Di lembut paras wajahmu
Kutemukan nada nyanyian
Alunan lagu untuku dan untukmu
Tentang keharmonisan

Goresan perdamaian
Tat kala hidup berlabu
Pada nuansa ketakpastian***



KUMBANG TAHI

Suatu pagi yang cerah
Seorang bocah melintasi stapak
penuh semangat, kaki telanjangnya menapak
melewati kali, pematang sawah, dan semak
Kesehariannya. kaki kecilnya begitu lincah

Di ujung pematang sawah, sejenak ia berhenti
Menatap garang pada seekor kumbang tahi
Yang hinggap pada sebatang jerami padi
Hati kecilnya serasa tertantang dengki
Sekuat tenaga diayunkannya kaki
Menyambar, menyepak si kumbang tahi

Kumbang tahi yang malang
Pada lumpur sawah ia terkapar tak berdaya
Tak mampu lari beranjak lantaran terlentang

Dan si bocah tertawa pongah
Pada kumbang tahi yang begitu rapuh dan lemah***




KIDUNG HATI YANG TERTAWAN

Aku terperangkap pada pesonamu
Bayangan akan wajahmu menawanku
pada rindu tak bertepi
Hasrat jiwa menggelora mendesak
Ingin mengulangi perjumpaan itu
Tapi Kefanaan raga tak mungkin membawaku kembali

Sesal tiada hentinya mendera sukma
Menghujat diri yang membiarkan saat itu berlalu
Tanpa tanya atau sekadar basah basih

Ah, anganku tak berdaya menyangkal
Hadirmu dalam indah riak suaramu nan lembut
Selembut paras wajah yang coba kulukis
Bersama serpihan kenangan yang sempat terpatri
dan akan selalu kusimpan
Sampai sebaris pinta ini kan terjawab
Katakan namamu, atau apa pun yang sanggup menamakan adamu...***


JIWA DALAM GELAP

Deru hujan menghujam atap
Riuh derap irama meratap
Bak mengujat hati sunyi nan gelap
Hawa dingin, tangan kaki tergoda merapat
Membelenggu jiwa yang takut dalam pekat
Angan beku dalam gelisah tiada sarat
Lantas mengusung kuk berat
Akankah mentari yang tenggelam diufuk barat
Esok kembali merekah memancar rahmat?***



SOPHIA: Ini Kisah dan Tanyaku tentang CINTA

              Hari yang indah, Sophie. Hari indah. Kata yang sempat terucap di ujung hari ini. Sembari meneguk kopi di sore ini, secuil senyum di bibir, mata sedikit menerawang, ekspresi wajah yang romantis. Hahaha...Jika kau sempat melihat, pasti kau terheran-heran dan menebak-nebak Sophie; "apa kiranya yang melayang dalam benaknya?" Kuceritakan. Aku sedang menghadirkan kembali kisah indah siang ini. Tak sebegitu menarik, kisah yang biasa saja. Namun kalau hatimu sempat tersentuh, janganlah akalmu memikirkan ini rekaan. Aku tidak mereka-reka, atau berkhayal, sekiranya sempat diabadikan pada gambar, aku pasti membagikan untukmu juga. Saat ragaku merasakan gerahnya sengat matahari, tatkala aku meluncur di jalanan dengan sepeda pancalku siang ini, aku merasakan kelelahan, lalu memutuskan untuk sejenak beristirahat di bawah sebuah pohon di samping lapangan. Sejenak kesejukan terasa mengalir di sekujur tubuh, terimakasih TUHAN, angin segar ini membuatku sempat berpikir betapa baiknya Engkau.

            Sungguh, Sophie, mataku tak bisa berganti arah, saat menangkap pemandangan di ujung jalan itu: sepasang kekasih sedang berjalan ke arahku (entahlah, sepasang kasih atau mereka hanya berteman, yang pasti yang aku lihat adalah seorang laki-laki berjalan sambil bergandengan tangan dengan seorang perempuan). Makin lama, makin mendekat, dan makin jelas. Aku sedikti terperangah, mata bersinar, tak berhenti menatap kedua insan itu. Tangan si cowok dengan setia terus menggandeng tangan ceweknya. Aku pun tak menyiakan sedetik pun untuk tidak terus menatap anugerah itu. Aku terkejut ketika keduanya menyapaku dengan ramah, dan pasti tertarik dengan caraku menatap mereka. Perasaan senang sepertinya merangsang kakiku untuk berdiri dan dengan sopan balas menyapa. Aku berusaha bertanya; “kemana mbah, mbok?” Dan mereka menjawab dengan senyum keramahan, dan mungkin kemudian tampaknya bertanya balik; Aku tidak mengerti, bahasa kami berbeda. Tapi guratan senyum dan keramahan, serta keceriaan yang tampak terlukis indah di wajah mereka, sungguh membuatku terkagum-kagum, tersenyum dan tak pernah memalingkan tatapanku, sambil mereka terus berjalan lewat. Rasa penasaran dan kekaguman yang besar mendorongku untuk mengikuti langkah mereka yang sudah gontai dan perlahan, karena memang usia yang sudah uzur. Tangan si Opa tak pernah lepas, dan si Oma pun mengiktui tuntunan si Opa. Aku berpikir; betapa lestarinya kemesraan itu; pasti dibangun atas kesetiaan yang besar. Guratan kerut wajah mereka seperti tiada ekspresi duka. Sungguh menyiramkan suatu kesegaran bagi jiwaku. Keramahan yang terpancar seperti angin segar yang lebih menyejukkan dari angin di bawah pohon itu. Lama juga langkah-langkah tua itu bergerak. Aku terus berjalan mendahului mereka, berucap permisi sebentar, lalu melemparkan senyum, dan terus berjalan. 

            Di sudut lapangan itu. Suatu pemandangan yang lain sama sekali. Selang beberapa detik dan beberapa meter dari pristiwa indah tadi, aku menyaksikan peristiwa yang lain sama sekali. Mungkin pembalikan atau memang lain sama sekali dari dugaanku. Tetapi dari apa yang tampak itu, sedikit memberi gambaran bagiku, apa sebenarnya yang terjadi. Seorang cewek duduk di atas speda motor. Dalam jarak yang cukup dekat, saya melihat cewek itu menyeka matanya dengan jilbabnya, berkali-kali. Ia menangis. Mungkin. Dan di sebelahnya berdiri seorang cowok, yang kelihatan nya marah-marah (atau mungkin tidak). Ia menggerakkan tangannya, dan berbicara dengan suara yang keras. Aku tidak bisa menagkap makna dari pembicaraan itu, sepertinya ia berbicara dalam bahasa jawa. Aku merasa tak nyaman untuk berhenti, berlama-lama di situ, suasananya memang lain dari yang tadi. Aku terus berjalan, agak tergesa-gesa, suara laki-laki itu makin meninggi. Itu pastilah sebuah pertengkaran hebat.

        Sophie, dalam perjalanan aku merenung, tentang gambaran dua gambaran hidup yang baru saja kusaksikan. Jelaslah itu sebuah pemandangan yang berbeda, seperti peralihan yang kontras babak drama, serentak dan tiba-tiba, dari klimaks ke antiklimaks. Apakah memang agar cinta itu mampu memadukan dua insan dalam keharmonisan mesti melalui pergulatan pada ranah antitesis dari prinsip-prinsip cinta? Aku tidak sedang menggugat, aku sedang mencari, dan tentu mengharapkan jawaban pasti.***



SOPHIA: Menafsir Gerak Daun Jatuh
              Di ujung tangga, Sophia, gadis belia nan molek duduk menengadah, menatap nanar pada langit senja. Seakan ia tak percaya pada panorama mega memerah sebagai pertanda pulangnya sang mentari ke rahim bumi. Seraya menopang dagu mungilnya dengan tangan kanannya, keningnya mengerut, mengisyaratkan pergulatan akalnya mencari jawab atas segudang tanya terjawab - yang terus berkecamuk bagai badai dalam benaknya. Tatapan mata yang kian nanar, beralih hampa, dan makin kosong. Tak sediikit pun ia bergeming dan beralih hasrat pada semilir senja yang menerpa wajah dan menyibak-nyibak rambutnya. Terkejut ia seketika. Gemersik dedaunan dan derit dahan pepohonan memanggilnya tuk sejenak menoleh ke pekarangan rumah. Ah, tak ada sesuatu yang luar biasa di sana, hanya aksi nakal angin jenaka yang mengusik pepohonan. Dalam tatapan hampa yang banal itu, raut wajah Sophia seketeika berubah, matanya melotot dan berbinar, terpanaha menyaksikan tarian sehelai daun yang jatuh.

Gerak jatuh yang lembut. Gemulai tarinya menggetarkan hati, menyulut api hasrat jiwa untuk ikut berpadu gerak. Tunggu. Itu tak adil. Bukankah kenyataan daun yang jatuh mengatakan keterpisahan dengan ranting sekaligus kematian bagi sehelai daun itu? Tapi tari jatuhnya nan gemulai tak sedikit pun mengisyaratkan aroma duka perpisahan dan kematian. Perlahan-lahan gerak gemulai tari jatuhnya semakin gesit, dan akhirnya dengan hentakan kasar ia terkapar di atas tanah, tergeletak tak berdaya di antara beribu daun tua yang mulai membusuk. Ah, daun muda nan indah, tak ayal lagi nasib akan seperti daun-daun tua itu, berubah jelek kecoklatan. Mengapa engkau mengiringi kematianmu dengan tarian sukacita? Tidak engkau paham bahwa engkau akan hancur membusuk pada tanah dan akhirnya menjadi humus. Humus. Ya, humus. Tempat para cacing jalang menjijikkan itu bermukim dan beranak pinak.

Hati kecil Sophia mengutuk kebodohan daun-jatuh itu. Ia muak dengan kata yang terakhir itu; Humus, Rumah para cacing yang paling membuatnya merasa jijik. Tetapi, bukankah humus itulah yang menyuburkan pohonnya? Seketika keningnya mengerut, melawan bahasa fana bibir mungilnya yang mencibir jijik. Ya, humus, humus yang timbul dari dedaunan yang jatuh adalah jaminan kesuburan bagi pohonnya. Oh, daun-jatuh, gerak tarimu adalah gerak kebebasan penuh sukacita. Jatuhmu bukan keterpisahan, keterhempasanmu bukan hampa makna. Tak mungkin tidak, engkau tengah bernarasi tentang totalitas pemberian diri. Tentang Cinta dan kesejatian maknanya.

Eureka!!! Hati kecil Sophia spontan bersorak. Sumringah wajah ayu mengukir senyum kepuasan. Eureka!!! Hati kecilnya lagi-lagi bersorak. Narasi pengorbanan sehelai daun yang jatuh adalah tentang memberi diri; tentang cinta. Narasi cinta itu kini terukir pada lembut paras wajahnya.***






Selasa, 15 Juli 2014

Konflik Aku dan Yang Lain (Diri dan Liyan) Menurut Jean-Paull Sartre

Diri (self) merupakan obyek material dari permenungan tentang eksistensi manusia. Oleh karena itu permenungan akan eksistensi manusia merupakan upaya untuk memahami diri sebagai inti keberadaan manusia. Proses permenungan akan diri ini tidak terlepas dari merenungkan identitasnya sebagai ‘diri’ dalam kehadirannya di antara ‘yang lain’ yang berada di luarnya. Liyan (Other) merupakan ‘yang lain’ yang berada di luar ‘diri’. Jean-Paul Sartre[1] merupakan salah satu filsuf eksistensialis yang secara radikal menguraikan eksistensi ‘diri’ manusia dan hubungannya dengan ‘yang lain’ (liyan). Bagaimana pandangan Sartre tentang diri, liyan,dan hubungan antara keduannya?

Diri
Term ‘self’ kerapkali digunakan berkaitan dengan orang (person), walaupun penekanannya selalu pada inti atau pusatnya atau lebih pada dimensi psikologis daripada mengungkapkan bagian luar atau tubuh seseorang.[2] Self merupakan sebuah kata yang mengungkapkan realitas inti persona.  Term ini selalu muncul dalam uraian tentang kedirian manusia. Dalam bahasa Indonesia, self diterjemahkan dengan kata “diri.” Terminologi ini merujuk pada ‘pelaku’ yang bertindak berdasarkan hakekatnya sendiri.[3] Dalam ranah filsafat ‘diri’ mendapat tempat penting, terutama dalam permenungan eksistensi manusia.
Ungkapan Rene Descartes: “Cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada), telah membuka cara baru dalam permenungan filosofis untuk  memahami manusia. Ia menekankan kesadaran akan otonomitas diri manusia untuk menemukan keberadaan ‘diri’nya dan segala sesuatu yang lain. Diri merupakan pusat kesadaran akan diri itu sendiri dan yang lain yang berada di luar diri. Namun permenungan kesadaran Descartes ini merupakan suatu permenungan kesadaran yang tertutup. Berbeda dengan Descartes, para filsuf eksistensialis menjelaskan kesadaran yang terbuka. Mereka mengakui dalam segala sesuatu yang lain seseorang menemukan kesadaran akan dirinya. Segala sesuatu yang lain diakui sebagai ‘ada’ yang juga mendefenisikan keberadaan seorang manusia. Dengan demikian ‘diri’ manusia tetap merupakan titik tolak untuk menguraikan keberadaan manusia dalam dirinya dan di antara segala sesuatu yang lain.
Sartre mencurahkan perhatian penuh pada eksistensi individu. Ia menguraikan eksistensi manusia dengan bertitik tolak pada pandangan bahwa pada manusia secara hakiki eksistensi mendahului esensi. Manusia memiliki perbedaan yang sangat fundamental dengan mahluk lain dan benda-benda yang ada di sekitarnya. Karena dalam benda-benda dan mahluk lain esensi mendahului eksistensi.[4] Eksistensi mendahului esensi menegaskan bahwa; pertama-tama manusia ada, berhadapan dengan dirinya sendiri ( itself ), terjun ke dalam dunia – dan barulah setelah itu ia mendefinisikan dirinya.[5] Dalam pendefinisian diri ini aktivitas kesadaran memiliki peranaan penting. Dalam dirinya sendiri seseorang sadar akan keberadaan dirinya dan dalam segala sesuatu yang lain pun ia sadar akan ‘diri’nya. Sehingga kesadaran akan orang lain bukan sebagai bentuk afirmasi terhadap kehadiran orang lain, tetapi sebuah negasi terhadap kehadiran orang lain. Karena orang lain hadir bukan pertama-tama ada sebagai dirinya sendiri, tetapi sebagai obyek yang menrangkan keberadaan saya.
Dalam mengontologi keberadaan manusia, Sartre mengemukakan manusia pada hakikatnya pertama-tama ‘ada pada dirinya sendiri’ yang mengungkapkan ia identik sama sekali dengan dirinya. Inilah salah satu cara berada manusia, yang dalam istilah Sartre; l’être-en-soi (being-in-itself: ‘ada pada dirinya’).[6] Tetapi jika ada itu-pada-dirinya sendiri, maka itu berarti bahwa tidak merujuk pada kesadaran diri.[7] Karena ada ini tidak dapat diturunkan dari sebuah kemungkinan atau direduksikan pada suatu kebutuhan.[8] ‘Ada’ ini secara potensial ada dalam diri manusia itu sendiri dan ada begitu saja.  Being-in-itself menegaskan diri sebagai inti keberadaan manusia. ‘Diri’ menjadi inti identitas kemanusiaan. Menguraiakan eksistensi manusia berarti menguraikan hakikat dirinya. Dalam permenungan tentang ‘being-in-itself ‘ dapat dimengerti pandangan Sartre tentang diri. Di sini kita menemukan diri merupakan inti subyek dalam permenungan tentang eksistensi manusia sekaligus menjadi obyek dari permenungan filosofis Sartre.                                                                                                                                                                                                                
Kesadaran  akan kesubyekan ego beserta segala aspek kediriannya (pikiran, emosi, dan sebagainya) sekaligus membawa konsekwensi bahwa, ia sadar ia tidak identik dengan segala sesuatu yang ada di luar dirinya. Kesadaran diri bahwa ia unik mengandaikan suatu kesadaran akan sesuatu yang berada di luar dirinya. Kesadaran itu selalu kesadaran ‘dari sesuatu’ sehingga ‘diri’ didefenisikan dalam kaitannya dengan sesuatu yang lain.[9]  Dalam hal ini, yang lain itu merupakan perantara bagi saya (me) dan diri saya (myself) oleh karena yang lain itu telah menampakan kepada saya ‘apa saya itu.’[10] Dalam kesadaran akan sesuatu itulah ’diri’ menjadi pusat dari kesadaran itu. Hal ini dipahami sebagai suatu cara berada yang baru. Cara berada ini terbentuk ketika seseorang menyadari otentisitas identitas dirinya dalam sesuatu yang lain. Hal ini berarti dalam kesadaran itu ia ‘ada-bagi-dirinya’ sendiri. manusia yang kedua menurut Sartre yaitu ‘ada-bagi-dirinya’ (être-pour-soi).[11] Cara berada ini merupakan fondasi dari kesadran  akan eksistensinya.[12] Dengan demikian ‘diri’ dalam konteks pemikiran Sartre ini merupakan suatu pusat pencarian manusia. Meskipun ia hadir dalam dunia bersama yang lain, ‘dirinya’ menjadi pusat dari segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Ia mengenal segala sesuatu disekitarnya dalam konteks untuk mendefenisikan dirinya dan membedakan dirinya dari yang lain itu.
Pandangan tentang ‘diri’ yang sangat menekankan subyektivitasnya ini tentunya memiliki konsekwensi yang besar bagi pemikirannya tentang liyan. Bertitik tolak pada kesadaran akan dirinya, seseorang berusaha mengobyektivasi realitas ada yang lain di sekitarnya untuk menemukan dan atau mendefenisikan dirinya. Sehingga manusia dalam dirinya adalah otonom. Ia bebas mendefenisikan dirinya secara absolut. Inilah yng menjadi dasar dari pandangan Sartre bahwa kebebasan manusia itu mutlak. 

Liyan
Pemahaman utama dari liyan adalah sesuatu yang lain dari manusia itu sendiri atau yang memiliki perbedaan darinya.[13] Liyan  merupakan sesuatu yang berdiri di luar diri dan berbeda dari diri. Meskipun sesuatu yang terpisah dari diri, liyan merupakan realitas ada yang juga mengukuhkan keberadaan diri.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari setiap orang hadir bersama-sama dengan orang lain dalam satu ruang dan waktu. Tentunya interaksi antarpersona baik secara langsung maupun tidak langsung tidak dapat dihindari. Dalam konteks perjumpaan dengan orang lain ini Sartre menambahkan cara berada yang ketiga, yaitu ‘ada-bagi-yang lain.’ [14] Cara berada ini selalu berciri konfliktual oleh karena setiap orang berusaha untuk mendefenisikan dirinya di dalam yang lain dan menjadikan yang lain itu sebagai objek. Pemikiran ini menjelaskan kepada kita bagaimana cara seseorang memandang yang lain. Otonomitas ‘diri’ untuk menemukan dirinya di dalam yang lain memiliki konsekwensi; ‘yang lain itu harus diobyektivasi.’ Kehadiran yang lain sebagai realitas ada yang juga independen disangkal. Dirinya sendiri menjadi pusat dan yang lain dimasukkan dalam dunianya. Ia bebas menginterpretasi dunianya. Ia bebas untuk mengobyektivasi dunia itu termasuk segala sesuatu yang ada disekitarnya. Kesadaran lain pun berlaku demikian terhadapnya.
Pengalaman ada bersama orang lain membawa konsekwensi bahwa ‘diri’ saya juga ada bagi yang lain (exist for others). Dalam kenyataannya kita telah membangun struktur ada saya-bagi-liyan identik dengan ada liyan-bagi saya. Saya pertama-tama melihat liyan itu sebagai seseorang yang baginya saya berada sebagai obyek.[15] Tetapi otonomitas diri saya menolak hal ini. Saya harus menjadikannya sebagai obyek. Perjumpaan yang ditandai oleh aktivitas saling mengobyektivasi menciptakan cara pandang yang sangat ekstrim tentang liyan. Liyan dipandang sebagai obyek yang harus ditaklukan dibawah ‘sorot mata’[16] saya sebagai subyek. Kehadirannya sebagai ‘ada’ yang independen disangkal. Liyan dipandang sebagai sesuatu yang absurd. Liyan bagi saya dalam hal ini merupakan objek yang memungkinkan diri saya untuk menemukan diri saya sendiri. Dalam konteks ini juga liyan merupakan sesuatu yang juga dapat menjadi penghalang bagi diri saya untuk bergumul dengan diri saya sendiri. Oleh karena liyan itu harus disingkirkan.

Relasi Diri dengan Liyan
            Suatu hari saya berpapasan dengan seorang gadis cantik. Tatapan mata saya langsung tertuju kepada gadis itu. Dia tampak begitu cantik bagi saya. Saya sungguh menikmati tampilan gadis cantik itu. Sorot mata saya yang tertuju kepadanya berlangsung cukup lama. Ternyata  gadis itu mengetahui bahwa saya sedang menatapnya. Ia berreaksi dengan memalingkan wajahnya yang seketika itu juga merona merah. Saya tersenyum puas menyaksikan peristiwa itu. Tanpa sepengetahuan saya, ternyata teman saya memperhatikan perbuatan saya itu. Ia mengomentari perbuatan saya itu; “hati-hati dengan matamu.” Komentar teman saya ini mengejutkan saya. Saya menjadi malu karena merasa dipergoki oleh teman saya.
            Ilustrasi di atas menggambarkan bagaimana relasi saya dengan yang lain dalam pandangan Sartre. Aktivitas penting dari ilustrasi ini adalah ‘mengamati.’ Aktivitas ‘mengamati’ mengandaikan ada obyek yang sedang diamati. Si gadis menjadi obyek dari pengamatan saya. Dengan kata lain ‘ia menjadi obyek bagi saya sebagai subyek.’ Tindakan saya ini membuat ia merasa tidak nyaman. Ia sadar ia telah diobyektivasi. Reaksinya memalingkan wajah dan wajahnya yang merona merah merupakan tanda perlawanannya terhadap tindakan saya. Ia merasa kebebasannya dilingkupi oleh ‘sorot mata saya.’ Tanpa saya sadari pula, saya telah menjadi obyek bagi teman saya yang mengamati perbuatan saya itu. Saya merasa malu karena dipergoki oleh teman saya. Perasaan malu saya merupakan bentuk ketidaknyamanan karena saya menyadari bahwa saya telah menjadi obyek bagi teman saya. Pengalaman ‘menatap’ dan ‘dipergoki’ dalam hal ini tidak dimaknai sekadar sebagai perbuatan, tetapi merupakan ungkapan eksistensial seseorang. Melalui tindakan ‘menatap’ seseorang mendefinisikan dirinya dengan mengobyektivasi yang lain.
Relasi antara saya dengan liyan dalam pemikiran Sartre selalu ditandai oleh aktivitas saling mengobyektivasi. Kenyataan ini menjadikan relasi antarmanusia itu sebagai sebuah relasi yang berdasar atas konflik. Setiap pribadi berupaya untuk mengobyektivasi yang lain melalui ‘sorot matanya’ (the look [l’regard]). Sorot mata menjadikan orang merasa tidak bebas karena kehadiran orang lain. Sorot mata yang tertuju kepada saya tidak dapat menjadi bagian dari diri saya. Saya harus dapat melihat atau membayangkan seseorang yang akan melihat saya sebelumnya. Karena dengan sorotan mata orang lain itu saya merasa lebih dipaksakan olehnya daripada oleh diri saya sendiri. Dengan kata lain, sorot matanya menjadikan saya obyek bagi dia di saat saya juga mengakui diri sebagai yang ada.[17] Saya pun melakukan hal yang serupa terhadap liyan. Liyan sedapat mungkin ditaklukkan oleh sorot mata saya ketika saya mengobyektivasi dia. Liyan menampakan kepada saya “apa saya itu.”[18] Diri sebagai realitas inti persona memanfaatkan kehadiran liyan untuk mendefenisikan dirinya. Dalam hal ini diri berusaha untuk memetakan keunggulan-keunggulannya pada liyan. Hubungan antarmanusia dalam konteks ini merupakan suatu aktivitas mereduksi keberadaan dan peran yang lain.
Relasi diri dan liyan adalah relasi subyek-obyek. Liyan merupakan obyek yang harus ditaklukkan agar diri dapat mendefenisikan keberadaannya. Liyan sedapat mungkin selalu berada di bawah sorot mata saya. Karena melalui sorot mata itu saya menegaskan otonomitas diri saya atas liyan. Namun harus diakui pula bahwa seketika itu juga liyan dari dirinya sendiri berusaha untuk membebaskan dirinya dari penguasaan saya. Dari dirinya sendiri ia pasti berreaksi pada tindakan saya yang mengobyektivasi dia. Ketika diri saya mencoba untuk memperbudak dia, dia dari dirinya sendiri juga melakukkan aktivitas serupa.[19] Kenyataan ini merupakan suatu fenomena konflik yang pada akhirnya bisa berujung pada kebencian yang mendalam terhadap liyan. Sartre sendiri pernah mengungkapkan bahawa ‘neraka adalah orang lain’. Ungkapan ini tentunya berakar pada cara pandangnya terhadap orang lain (liyan). Orang lain yang hadir bersama saya dalam hidup ini dianggap sebagai neraka yang mengekang kebebasan saya untuk merealisasikan diri saya.

Kritik
            Dalam menguraikan eksistensi manusia Sartre bisa dianggap terlalu ekstrim. Penekanannya pada otonomitas ‘diri’ yang berlebihan untuk bereksistensi menghantarnya pada kesimpulan bahwa kebebasan manusia itu mutlak. Sartre sepertinya hanya melihat segi kebebasan dalam diri manusia. Unsur lain yang harusnya tidak boleh diabaikan adalah daya manusia untuk mencintai dan kebutuhannya untuk dicintai. ‘Mencintai’ merupakan suatu aktivitas dari diri manusia untuk mendefenisikan dirinya. ‘Mencintai’ mengandaikan seseorang mampu keluar dari dirinya menyatu dengan sesuatu atau seseorang yang dicintainya. Tindakan ‘mencintai’berarti gerakan dari ‘aku’ menuju yang lain dengan sikap lupa diri yang kurang mementingkan diri, sebab tanpa akseptasi itu orang lain tidak mungkin dapat diterima menurut apa adanya.[20] Hal ini tentunya bertentangan dengan pandangan Sartre. Bagi Sartre membiarkan diri menyatu dengan sesuatu atau seseorang yang dicintai berarti membiarkan diri ditaklukan oleh sesuatu yang lain dari diri. Dengan demikian sesorang berusaha untuk menyangkali kebebasannya. Hal inilah yang menghantar Sartre kepada kesimpulan bahwa cinta selalu berakhir dengan kegagalan. Karena semakin kita mencoba untuk mereduksi diri kita sebagai obyek semata, semakin kita menyadari diri sebagai subyek yang mencoba menjalankan pereduksian itu.[21]
            Pandangan Sartre ini sebenarnya merupakan penolakan terhadap realitas bahwa sesorang pasti memerlukan kehadiran yang lain dalam ikatan cinta. Apakah seseorang bisa hidup sendiri tanpa cinta dari sesamanya? Seorang yang dalam keadaan sangat kritis dan membutuhkan uluran tangan kasih sesamanya tidak akan mungkin memandang itu sebagai suatu reduktivitas terhadap keberadaannya. Bantuan dari orang lain justru merupakan suatu penyelamatan terhadap keberlangsungan keberadaannya. Pengalaman ada bersama orang lain bukan pertama-tama adalah pengakuan akan eksistensi saya sebagai pribadi, tetapi sebenarnya adalah ungkapan eksistensi manusia universal.
            Pandangan Sartre tentang liyan sebagai sesuatu yang absurd merupakan bentuk penolakan akan kehadiran sesama. Kenyataannya setiap orang pasti hidup secara komunal. Dalam kehadiran bersama setiap orang tergabung baik dalam kelompok yang terlembagakan maupun perkumpulan yang sepontan. Dalam suatu lembaga setiap orang berusaha untuk berperan secara fungsional untuk menyokong keberlangsungan dari lembaga itu. Jika kehadiran orang lain dalam hal ini selalu dipandang sebagai suatu yang absurd lembaga itu tentunya tidak bisa terbentuk dan berlangsung. Dalam kehadiran bersama orang lain di suatu tempat umum seseorang pun tetap membutuhkan orang lain jika ia ingin menanyakan sesuatu hal yang penting untuk dirinya.
Konflik memang kerap terjadi baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bersama. Permusuhan dan kekerasan terjadi karena adanya konflik. Tetapi untuk memperoleh kenyamanan dan kebahagiaan setiap orang pasti mengupayakan keharmonisan dengan jalan penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik mengandaikan setiap orang mampu menerima sesama apa adanya (bukan seturut interpretasi dirinya sendiri). Dalam hal ini semua pihak yang berkonflik harus bisa keluar dari dirinya sendiri agar bisa mewujudkan perdamaian. Sehingga tidak mungkin kebebasan yang mutlak itu ada dalam tatanan hidup bersama. Kebahagiaan hidup tidak semata-mata didapati dalam kebebasan yang mutlak tetapi juga dalam menerima kehadiran sesama sebagai diri saya yang lain.
Setiap orang ingin merealisasikan keberadaannya dalam kehidupan ini dan berupaya untuk mempertahankan subyektivitasnya itu dengan mengobyektivasi yang lain. Banyak persoalan kemanusiaan dewasa ini dapat kita telaah dari sudut pandang Sartre. Penekanan akan kebebasan yang mutlak dalam diri setiap manusia seringkali menimbulkan benturan dalam relasi antarmanusia. Misalkan saja konflik antarpribadi yang seringkali terjadi dalam suatu lingkungan tempat tinggal. Setiap pribadi merupakan subyek dari kehidupan yang secara eksistensial memiliki kebebasan. Masing-masing pribadi pasti merealisasikan kebebasannya itu. Perealisasian kebebasan itu seringkali menimbulkan konflik antarpribadi. Konflik itu terjadi ketika setiap pribadi berusaha untuk mengoptimalkan kebebasannya tanpa memperhatikan pribadi lain yang juga memiliki kebebasan. Misalnya dalam ruang hidup yang kecil seperti dalam sebuah keluarga. Seorang suami bertengkar dengan istrinya dapat saja terjadi karena yang satu menginginkan yang lain bertindak seperti yang diinginkannya, tetapi yang lain dengan itu merasa dikekang. Inilah bentuk konkrit dari tindakan saling mengobyektivasi. Seorang istri dalam dirinya merasa kehadiran sang suami disampingnya sebagai sosok yang tidak menyenangkan ketika keinginan keduanya tidak sejalan. Konflik selalu muncul sebagai bentuk dari benturan otonomitas diri keduanya yang kerap memiliki kehendak yang berbeda. Seorang istri dipandang sebagai liyan yang mestinya disingkirkan ketika dia menghalangi suaminya untuk berselingkuh, atau bisa juga sebaliknya. Seorang suami menempatkan istrinya sebagai liyan yang memuakkan ketika ia memandang curiga kepada istrinya yang berteman dengan pria lain.
Dalam budaya kita yang pada umumnya bercirikan patriarkat, perempuan seringkali dinomorduakan. Perempuan ada untuk menegaskan maskulinitas para lelaki. Secara konkrit misalnya dalam orientasi seks lelaki. Perempuan seringkali dipandang hanya sebatas obyek pemenuhan kebutuhan seksualitas para lelaki. Perempuan tidak jarang menjadi liyan yang vulnerable tatkala menjadi korban kekerasan. Mereka menjadi obyek yang mengukuhkan lelaki sebagai lelaki sejati.[22] Perempuan dalam budaya patriarkat merupakan liyan yang harus dikontrol oleh laki-laki. Padahal sejatinya mereka adalah juga manusia seperti laki-laki yang martabat kemanusiaannya juga harus dijunjung tinggi, sebagaimana laki-laki menjunjung tinggi martabatnya sendiri. Perempuan sebagai manusia juga memiliki dalam dirinya otonomitas untuk merealisasikan dirinya. Sebagai manusia, dari dalam dirinya ia pasti memberontak melawan dominasi kaum lelaki.
Fenomena kekerasan yang kerap terjadi dalam masyarakat kita pun seringkali disebabkan oleh konflik yang didasarkan pada saling mengobyektivasi. Setiap orang yang tergabung dalam satu kelompok memiliki kepentingan bersama yang harus dipertahankan. Ketika kepentingan dari suatu kelompok dirasakan terhalangi oleh kelompok lain sangat meungkinkan terjadinya konflik antara keduanya. Di negara kita sangat rentan terjadi berbagai kasus yang berbau konflik SARA. Contohnya, fenomena kekerasan terhadap pemeluk-pemeluk agama minoritas oleh pemeluk agama yang mayoritas. Kelompok pemeluk agama yang mayoritas berusaha untuk menguasai pemeluk agama yang minoritas. Misalnya dalam membuat peraturan dalam kehidupan bersama. Peraturan yang sejatinya hanya memuat kepentingan kelompok mayoritas harus dijalankan juga oleh kelompok lain yang tidak membutuhkan peraturan seperti itu. Kelompok mayoritas merupakan liyan yang harus ditaklukkan. Lebih lagi kalau keberadaan kelompok kecil itu dianggap mengganggu otonomitas agama mayoritas. Kasus kekerasan terhadap pemeluk agama-agama minoritas dalam hal ini sangat rentan terjadi.
Pemikiran Sartre ini secara positif memberikan sumbangan yang sangat besar dalam menumbuhkan kesadaran akan hak asasi kaum tertindas. Orang-orang tertindas (vulnerable) terus terkungkung dalam ketertindasannya oleh karena tidak adanya kesadaran akan kebeeradaannya sebagai manusia bebas. Mereka harus sadar bahwa mereka adalah manusia bebas seperti manusia lain, yang membuat mereka tertindas. Kesadaran akan kebebasan ini pertama-tama membangkitkan kesadaran akn hak asasi mereka sebagai manusia. Misalnya dalam perjuangan melawan penindasan terhadap rasa tertentu. Kejahatan membunuh semua orang dari ras tertentu tidak dapat dipungkiri kerap terjadi dalam sejarah kita. Pembasmian terhadap ras Yahudi oleh rejim Hitler, kejahatan Genosida di Bosnia, atau pengejaran terhadap etnis Tiongkok yang pernah terjadi di Indonesia adalah contoh-contohnya. Dari dirinya sendiri mereka harus memiliki kesadaran untuk memperjuangkan kebebasan mereka. Perjungan akan hak-hak kaum buruh, orang-orang miskin, dan kaum perempuan juga harus dimulai dengan kesadaran akan kebebasan mereka sendiri. Inilah sumbangan humanis Sartre yang patut kita apresiasikan.
Namun tak dapat disangkali pula bahwa perjuangan untuk menegakkan hak-hak kaum tertindas itu serngkai berlangsung malalui jalan kekerasan. Ketika mereka memiliki kesadaran akan kebebasan mereka yang mutlak, mereka akan memperjuangkan hak-haknya dengan berbagai cara. Misalkan saja fenomena demonstrasi parah buruh yang seringkali berujung pada aksi kekerasan. Mereka menuntut hak-hak dan kebebsannya diakui oleh berbagai pihak tetapi dengan cara-cara anarkis.
Konflik  antarpribadi, antarkelompok, atau cara pandang orang terhadap orang lain merupakan produk dari penekanan terhadap otonomitas diri seseorang. Kita boleh menyangkal bahwa kebebasan yang mutlak itu tidaklah mungkin, namun realitas membuktikan bahwa tidak jarang kebebasan dari orang lain direduksi demi kebebasan pribadi kita. Pandangan Sartre tentang diri dan liyan dan bagaiman relasi antara keduannya memberikan pencerahan bagi kita untuk bisa memahami fenomena kehidupan kita. Diri bagi Sartre adalah subyek yang secara mutlak memiliki kebebasan. Ia bebas untuk mengobyektivasi liyan dengan sorot matanya. Liyan adalah ‘yang lain’ yang harus ditaklukan oleh kebebasan saya. Dalam kenyataannya kita masing-masing berusaha untuk saling menaklukan. Sehingga relasi antara diri dan liyan selalu merupakan sebuah relasi konflik. Sebagai manusia yang secara eksistensial memiliki kebebasan sekaligus di satu sisi memiliki kecendrungan membutuhkan sesama, bagaimana kita memandang liyan? Satu hal yang harus selalu kita ingat, yaitu kebebasan yang kita miliki adalah kebebasan di antara pribadi lain yang juga secara hakiki memiliki kebebasan.




[1] Jean-Paul Sartre lahir pada tanggal 21 Juni1905. Ayahnya seorang perwira angkatan laut Perancis dan ibunya Anne Marie Schweitzer, anak bungsu dari Charles Schweitzer, seorang guru besar bahasa dan sastra Jerman di Alsace. Ayahnya meninggal dua tahun setelah kelhirannya. Sejak kecil ia didik oleh kakeknya, Charles Schweitzer. Setelah berumur sepuluh tahun empat bula ia masuk sekolah di Lycee Henri IV di Paris. Tahun berikutnya, karena ibunya menikah lagi mereka pindah ke La Rochele. Selang beberapa tahun ia disekolahkan lagi ke Paris yaitu di Lycee Louis-le-grand. Pada 1924 ia masuk di Ecole normale superieure, salah satu perguruan yang paling selektif dan terkemuka di Perancis. Sekitar tahun 1929 ia berkenalan dengan Simone de Beauvoir, mahasiswi filsafat di universitas Sorbonne, yang kemudian menjadi sahabat dekatnya. Sejak tahun1931 Sartre mengajar sebagai guru Filsafat di beberapa Lycees. Ia dikenal juga sebagai seorang sastrawan. Karya-karyanya yang sanga terkenal adalah Ada dan Ketiadaan, Eksistensialisme adalah suatu Humanisme, dan begitu banyak karyanya dalam bidang sastra. Ia meninggal pada 15 April 1980. (Diringkas dari K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, hlm 89-99).
[2] Ted Honderich, Ed. The Oxford Companion to Philosophy, New York: Oxford University Press, 1995, hlm. 816.
[3] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 168.
[4] Dr. Konrad Kebung,SVD, Rasionalisasi dan penemuan Ide-Ide, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008, hlm. 92.
[5] Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, (sebuah terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dari karya Jean Paul Sartre: Existentialism and Humanism) Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 44.
[6] Bdk. Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness (diterjemahkan dari karya Jean-Paul Sartre: L’être et le néant oleh; Hezel E. Barnes), New York: Pocket Books, 1973, hlm. 25.
[7] Ibid.
[8] Jean-Paul Sartre, Op. Cit. , hlm. 29.
[9]Bdk.  Internet Encyclopedia of Philosophy, http://www.iep.utm.edu/sartre-ex/#SH5a, diakses pada 14 Oktober 2010.
[10] Francis Jeanson, Sartre and The Problem of Morality, Bloomington: Indiana University Press, 1980, hlm. 160.
[11] Bdk. K. Bertens, Op. Cit., hlm. 103.
[12] Jean-Paul Sartre, Op. Cit., hlm. 133.
[13] Ted Honderich, Ed.,Op. Cit., hlm. 637
[14] Bdk. Rosemarie Putman Tong, Feminis Tought, Yogyakarta: Jalasutra, 2009, hlm. 255.
[15] Jean-Paul Sartre, Op. Cit., hlm. 445.
[16] Dalam bukunya, Filsafat Barat Kontemporer K. Bertens menerjemahkan l’regard atau The Look ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah; ‘sorot mata’.
[17] Bdk. Francis Jeanson, Sartre andThe Problem of Morality, Bloomington: Indiana University Press, 1980: hlm. 160.
[18] Bdk. Ibid.
[19] Bdk. Rosemarie Putman Tong, Op. Cit., hlm. 256.
[20] Erich Fromm, Masyarakat Bebas Agresivitas, Bunga Rampai Karya Erich Fromm, Maumere: Ledalero, 2004, hlm. 79.
[21] Rosemarie Putman Tong, Op. Cit., hlm. 260.
[22] Bdk. Ibid., hlm. 267.

Minggu, 13 Juli 2014

Eksistensialisme Kierkegaard

Søren Aabye Kierkegaard (1813-1855), filsuf dari Denmark, merintis babak baru dalam pemikiran filosofis abad XIX. Ia melambungkan kritik pada bangunan filsafat sebelumnya yang mengambil jarak terhadap realitas untuk mendapatkan kebenaran-kebenaran filosofis. Tradisi filsafat mulai dari Descartes menekankan eksplorasi rasional terhadap realitas. Rasionalisasi dalam bentuknya yang paling tradisional dimulai oleh Descartes dengan meragukan semua kebenaran lama. Meragukan berarti mempertanyakan. Dengan bertanya seseorang memulai aktivitas berpikir untuk memastikan keabsahan suatu kebenaran. Dengan metode baru ini, kemapanan metafisika abad pertengahan diruntuhkan.
Kebangkitan idealisme Jerman pada paruh pertama abad XIX menampik dugaan kematian metafisika. Spekulasi-spekulasi metafisis gaya baru berkembang subur menggantikan metafisika tradisional.[1] Hegel berada dalam koridor ini. Hegel mengusung idealisme absolut. Bagi Hegel, realitas tidak dibentuk oleh pikiran individu tetapi oleh suatu akal kosmik tunggal yang disebutnya “Roh.”[2] Jika realitas dibentuk oleh roh, maka sejarah bukanlah produk tindakan manusia. Yang berperan dalam perguliran sejarah dari periode ke periode adalah roh absolut.
Persoalan besar Hegel adalah kesulitan untuk menjelaskan siapa tokoh sejarah. Tokoh sejarah tidak mungkin roh. Roh itu tidak konkret. Kesulitan Hegel ini kemudian diselesaikan oleh Kierkegaard. Kierkegaard mengatakan bahwa pelaku sejarah itu adalah manusia dalam ketunggalan atau keunikannya. Sehingga bagi Kierkegaard kebenaran bukanlah produk rasionalisasi melainkan cetusan dari pengalaman konkret manusia. Pergumulan filosofis Kierkegaard mengangkat eksistensi manusia sebagai titik tolak berfilsafat. Ia menjadi perintis awal filsafat eksistensialisme sehingga ia dikenal sebagai bapak eksistensialisme.
Dalam eksistensialisme Kierkegaard, filsafat merupakan cetusan dari pergulatan keseharian manusia. Tema-tema filsafatnya bersumber dari pengalaman hidup manusia. Ketakutan, kecemasan, kegalauan, harapan, kegembiraan, dan sebagainya merupakan ungkapan pergumulan keseharian manusia. Kesadaran manusia dalam singularitasnya tidak pertama-tama digerakan oleh sesuatu yang berada di luar dirinya, tetapi oleh pergumulan kesehariannya sebagai manusia yang unik. Pergumulan dengan hidup keseharian itulah bereksistensi. Manusia itu sendiri menjadi ’aktor’ kehidupan yang berani mengambil keputusan dasariah bagi arah hidupnya sendiri.[3] Dari pengalamannya dan penghayatan hidup kesehariannya manusia dapat menemukan nilai esensial hidupnya. Seorang yang beriman akan menjadi sungguh beriman, jika iman itu bertumbuh dari pergulatan hidupnya sendiri.  Dalam hal inilah Kierkegaard mengatakan adanya peregerakan dari kondisi eksistensial menuju kondisi esensial, peregerakan dari eksistensi menuju esensi.[4]
Manusia personal selalu berhadapan dengan berbagai pilihan. Inilah situasi eksistensial. Situasi eksistensial berarti manusia menyadari bahwa ia selalu berhadapan dengan pilihan-pilihan personal.[5] Berbagai pilihan yang secara langsung berhadapan dengan manusia personal merupakan kemungkinan-kemungkinan untuk menemukan otentisitas hidup manusia itu sendiri. Manusia dari dirinya sendiri dapat menentukan pilihan, namun tidak bisa mencapai suatu kepastian. Manusia tetap sadar akan keterbatasannya. Kesadaran akan keterbatasan ini memungkinkan pengakuan akan realitas obyektif, yaitu Allah. Kepastian hanya mungkin dalam Allah. Dalam ketidakpastian di antara berbagai kemungkinan, ‘lompatan iman’ (leap of faith) itu perlu, yaitu mengimani Allah sebagai Pencipta Yang Tak Terbatas.[6]
Dalam Heidegger permenungan tentang eksistensi manusia menjadi sangat radikal dengan cara berfilsafat yang fenomenologis dan ontologis. Heidegger menegaskan penggunaan istilah eksistensi sebagai terminologi yang khas bagi manusia. Ia menyebut ‘manusia’ dengan sebuah term ontologis, yaitu Dasein. Dasein (‘itu yang di sana’) merujuk pada manusia yang merespek atau mematuhi adanya dalam dunia. Hakekat Dasein itu terletak pada eksistensinya. Pernyataan ini hendak mengatakan bahwa hakekat Dasein itu tidak terletak pada kualitas-kualitas, tetapi pada jalan kemungkinan.[7] Ketika dalam berbagai kemungkinan manusia mengalami ketidakpastian yang tercetus dalam kecemasan dan rasa takut, berarti manusia menyadari hakekat dirinya sebagai manusia. Di sinilah letak perbedaan antara Kierkegaard dan Heidegger. Bagi Kierkegaard, dalam ketidakpastian itu manusia memerlukan lompatan iman untuk keluar dari situasi itu. Sedangkan bagi Heidegger, hakekat manusia itu menjadi jelas ketika ia menyadari situasi ketidakpastian yang membuatnya cemas atau takut.




[1]F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007, 154.
[2]James Grarvey, 20 Karya Filsafat Terbesar, Yogyakarta: Kanisius, 2010, 175.
[3]F. Budi Hardiman, Op. Cit., 250.
[4]Bdk. Donny GahralAdian, Percik Pemikiran Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2005, 177.
[5]Ibid.,174.
[6]Bdk. Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard, Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: Kepustakaan GramediaPopuler 2004, 126.
[7] John Marquarrie, Eksistentialism, New York: Penguin Books, 1973, 66.

Selasa, 08 Juli 2014

Fenomenologi Edmund Husserl: Back to the Things Themeselves

      
            Edmund Husserl (1859-1938) dikenal sebagai Bapak Fenomenologi. Gelar ini diatribusikan pada Husserl karena ia yang secara istimewa mendalami tema filosofis ini. Namun gelar ini tidak pertama-tama memaksudkan Husserl sebagai pencetus terminologi ini. Kita menemukan istilah fenomenologi pertama kali digunakan oleh Johan Heinrich Lambert (1728-1777) dalam karyanya “Phenomenology or the Doctrine of Mere Appearance”.[1] Lambert memakainya untuk menggambarkan secara umum penampakkan atau kemunculan segala sesuatu yang ada. Husserl, dengan pengaruh pemikiran Franz Brentano menggeluti fenomenologi sebagai sebuah tema khusus filsafat yang lebih rigorus. Ia mengeksplorasi fenomenologi secara lebih serius dan mendalam. Dengan slogan “back to the thing themselves” ia menggagas pemahaman yang lebih asli atas fenomena-fenomena. Dari Husserl fenomenologi mendapat bentuknya yang orisinil sehingga kemudian banyak diminati sebagai gaya berfilsafat baru dan bahkan dikembangkan oleh ilmu-ilmu empiris, seperti sosiologi dan antropologi.
 
            Fenomenologi merupakan kata bentukan dari kata Yunani, phainomenon[2], yang artinya ‘yang kelihatan, penampilan, yang tampak (Inggris: appearance)’. Kata ini kemudian diserap ke dalam kata Latin phenomena, ditambah dengan kata logos membentuk kata gabungan phenomenologia. Terminologi ini pertama kali diperkenalkan oleh Christoph Friedrich Oetinger pada 1736.[3] Dari akar katanya ini, fenomenologi dapat diartikan sebagai bidang ilmu yang mempelajari tentang fenomena atau ‘yang-menampakkan.’ Sebagai sebuah terminologi filsafat, istilah ini memiliki perkembangan dengan beragam percikan elaboratif filosofis. Tema fenomenologi menjadi salah satu emblem filsafat abad XVIII-XIX dan menjadi pusat perhatian filsafat abad XX. Tema ini menjadi perhatian yang istimewa dalam Husserl dan filsuf-filsuf yang kemudian mengembangkan pemikirannya. Fenomenologi kemudian berkembang menjadi sebuah metode yang tidak hanya berkembang dalam bidang filsafat, tetapi bahkan juga dipakai sebagai metode teologi dan berbagai penelitian yang digeluti oleh ilmu-ilmu empiris seperti sosiologi dan antropologi.
 
            Fenomenologi Husserl dipengaruhi oleh Franz Brentano, terutama persoalan kesadaran dan intensionalitas.[4] Dalam Brentano, fenomenologi dibahas berkaitan dengan psikologi deskriptif. Brentano membuat distingsi yang jelas antara psikologi dan filsafat kesadaran. Dalam psikologi, kesadaran itu dikaji secara empiris sedangkan dalam filsafat, kesadaran dilihat sebagai kesadaran yang murni.[5]Penekanan Brentano terletak pada intensionalitas yang mengalir dari kesadaran mental akan benda-benda atau fenomen-fenomen yang hadir (present) di hadapan kita.
            Fenomenologi empiris Brentano ini dikembangkan oleh Husserl sehingga menjadi sebuah filsafat yang rigorus. Berbeda dengan Brentano yang memiliki perhatian lebih pada persoalan psikologi, Husserl memijakkan fenomenologinya pada korelasi antara esensi kesadaran dan esensi obyek. Pemahaman akan esensi-esensi ini tidak boleh terkontaminasi oleh unsur psikologis. Husserl lantas memeprkenalakan terminologi barunya dalam fenomenologi, yaitu epoch. Epoch[6] merupakan sebuah upaya untuk menempatkan sikap yang tepat pada obyek yang diidentifikasikan, dengan metode ‘meletakan dalam kurung.’ ‘Meletakan dalam kurung’ memaksudkan sikap tidak serta merta mengidentifikasikan obyek/fenomen dengan segala asumsi-asumsi yang diwariskan atau diajarkan kepada kita, tetapi pertama-tama kita membiarkan obyek berbicara tentang realitas dirinya. Inilah kebaruan yang kita temukan dalam Husserl. Epoch dapat juga dikatakan sebagai ringkasan dari seluruh karya Husserl. Sebab dalam mengembangkan metodenya ini ia tetap berpijak pada slogan ‘back to the things themselves.’
            Slogan Back to the Things Themselves mengungkapkan suatu upaya untk mengalami obyek murni agar dapat dipahami sebagaimana adanya. Dalam hal ini segala bentuk asumsi dan lumuran konteks yang membingkai pemahaman kita tentang obyek mesti direduksi atau tepatnya ditaruh di dalam kurung. Slogan ini terwujud dalam upaya menaruh di dalam kurung (asumsi-asumsi dan lumuran konteks) melalui tiga proses reduksi.
             
            Slogan ‘back to the things themselves’ merupakan sebuah upaya untuk mengalami fenomen sebagaimana adanya. Dalam dunia kehidupan kita sulit untuk menemukan keaslian dari setiap fonemen yang tampak ke hadapan kita. Kesulitan itu terutama karena segala asumsi dan lumuran konteks kerap kali mendahului dan mendominasi kesadaran kita ketika kita berusaha untuk mengidentifikasi sebuah obyek atau fonemen. Husserl menggagas tiga proses reduksi sebagai langkah-langkah untuk mengerti sebuah obyek atau fenomen secara murni. Ketiga proses reduksi itu adalah; reduksi fenomenologis, reduksi eiditis, dan reduksi transendental.
            Reduksi fenomenologis merupakan sebuah upaya untuk membendung prasangka subyektif dan mengalami fenomen dalam wujudnya yang murni dan utuh.[7] Prasangka kerapkali menciptakan identifikasi dasar yang belum tentu sesuai dengan apa yang sesungguhhnya ditampakkan oleh obyek atau fenomen. Hal inilah yang membuat pengetahuan kita akan fenomen itu tidak murni. Ketika saya memutuskan untuk masuk biara misalnya. Fenomena hidup membiara bagi saya, sebelum masuk ke dalamnya, sangat menarik. Dalam anggapan saya sebelumnya, dalam biara hidup itu sangat membahagiakan, suci, dibanggakan banyak orang, disegani, makanannya enak, dan sebagainya. Berbagai anggapan ini juga dpengaruhi oleh lumuran konteks, artinya menjadi prasangka kebanyakan orang di sekitar saya. Ketika saya masuk dan mengalami hidup membiara, ternyata hidup membiara itu bukan hanya soal kelihatan bahagia, suci, makan-minumnya enak dan sebagainya. Saya benar-benar memahami hidup membiara itu secara murni ketika saya harus menganggalkan dan menaruh dalam kurung segala asumsi itu dan mengalami dan menghayati hidup membiara secara murni.
            Setelah menaruh dalam kurung segala prasangka subyektif kita, berikutnya adalah upaya untuk mengungkapkan struktur dasar obyek. Struktur dasar obyek yang dimaksud adalah ciri dasariah obyek murni yang memungkinkan kita mengalami obyek yang murni. Hal ini merupakan sebuah upaya untuk menemukan hakekat obyek atau fenomen. Misalnya ketika saya mengamati sebuah rumah. Saya harus berusaha menemukan apa hal esensial yang menjadiakan sebuah rumah itu disebut sebagai rumah. Proses ini dikenal sebagai reduksi eiditis[8].
            Proses reduksi yang ketiga adalah reduksi transendental. Pada taraf ini metode fenomenologi itu diterapkan pada subyek sendiri. Kesadaran murni subyek mampu menyaring dalam pengalaman eksistensialnya apa yang tidak memiliki hubungan timbal balik dengan kesadarannya sebagai subyek murni.
            Dari uraian di atas kita menemukan penekanan akan peran kesadaran dalam fenomenologi. Kesadaran sebagai titik pijak fenomenologi memiliki peranan yang besar. Mengingat kesadaran yang dimaksudkan Husserl selalu tertuju dan dalam intensi memahami obyek murni, kita dapat membedakannya dengan jelas dengan kesadaran Cartesian. Rene Descartes dan para filsuf zaman modern lainnya menguraikan kesadaran sebagai kesadaran yang tertutup. Dengan slogan cogita ergo sum; yang ada adalah saya yang berpikir, Descartes menekankan kesadaran yang murni itu sebagai milik ‘saya yang berpikir’. Segala sesuatu di luar diri saya tidak ada tanpa saya yang memikirkan segala sesuatu itu ada. Ini merupakan suatu anggapan yang radikal, yang bahkan melenyapkan esensi obyek di luar kesadaran manusia. Husserl mengeritik kesadaran tertutup ini. Kesadaran pada Husserl merupakan kesadaran intensional, yang terbuka, yang selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Inilah yang diwarisi Husserl dari Brentano.
 
            Fenomenologi merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran dengan mengamati fenomenon. Fenomenon sebagai obyek kesadaran dipahami sesuai apa yang tampak dalam pengalaman. Perhatian istimewa atas apa yang tampak dalam pengalaman memungkinkan kita merumuskan hakekat segala sesuatu secara jernih. Sehingga tepatlah jika dikatakan bahwa dalam Husserl fenomenologi berarti ilmu tentang esensi.[9] Pemikiran ini merupakan kebaruan yang kita temukan dalam Husserl. Esensi segala yang ada tidak ditemukan dalam uraian metafisis atau pun rumusan spekulatif. Esensi ditemukan melalui suatu upaya kesadaran yang merujuk (intensionalitas) kepada realitas (back to the thing itself).[10]  Sumbangan penting dari fenomeologi Husserl adalah gagasan tentang dunia-kehidupan-keseharian (lifeworld). Kesadaran intensionalitas memungkinkan manusia menyadari dunia-hidup-kesehariannya. Berbagai fenomena dalam-hidup-keseharian menjadi tampak jelas hakekatnya. Segala fenomena yang tampak dalam kehidupan kita sehari-hari kerap kali mengelabui dan menyesatkan kita karena kita tidak mampu menemukan hakekat dari apa yang tampak itu. Karena itu kita perlu berani menanggalakan konteks dan prasangka dan berusaha menghayati setiap fenomen itu secara murni.




[1] Walter Kaufmann, Hegel: A Reinterpretation, New York: Doubleday & Company, Inc., 1966, 148.
[2] Stanford Encyclopedia of Philosophy, http://plato.stanford.edu/entries/phenomenology/, diakses 14 Januari 2013.
[3]Ibid.
[4] Donny Gahral Adian, Pengantar Fenomenologi, Depok: Koekoesan, 2010, 24.
[5] Ibid, 7.
[6] Tentang Epoch, Bdk. Stanford Encyclopedia of Philosophy, Edmund Husserl, http://plato.stanford.edu/entries/husserl/#PheEpo, akses pada 23 Mei 2013.
[7] Bdk. Dony Gahral Adian, Op. Cit., 29.
[8] Bdk. Ibid.[9] Prof. Dr. E. Armada Riyanto, CM, Dialog Interreligius, Yogyakarta: Kanisius, 2010, 225.
[10]Ibid., 226.